Headline
AS ikut campur, Iran menyatakan siap tutup Selat Hormuz.
Tren kebakaran di Jakarta menunjukkan dinamika yang cukup signifikan.
BELUM lama ini, Presiden Joko Widodo mengajak masyarakat hijrah. Poinnya hijrah dari hal-hal yang buruk ke yang baik. Kepala negara risau atas begitu masifnya hal-hal negatif dalam peri kehidupan masyarakat belakangan ini. Misalnya, banjirnya ujaran kebencian, fitnah, berita bohong (hoaks) di medsos yang mencabik-cabik persatuan bangsa.
Di dunia wayang, semangat hijrah inilah yang pernah menggelora dalam jiwa Pandawa ketika Astina dikuasai kemunafikan dan kezaliman. Puntadewa dan adik-adiknya (Pandawa) meninggalkan tanah kelahiran mereka itu dan kemudian membangun negara baru dengan peradaban baru.
Tidak gampang, butuh perjuangan hidup dan mati. Namun, dengan tekad kuat dan optimisme, Pandawa akhirnya berhasil. Mereka hijrah yang dilambangkan pada kemampuan mereka membangun negara baru di Wanamarta yang diberi nama Amarta alias Indraprastha.
Memusuhi Pandawa
Kisah hijrah Pandawa dari Astina ke Amarta ini berawal karena mereka terus-menerus menjadi bulan-bulanan Kurawa. Mereka memilih tidak ingin srawung (bergaul) lagi dengan Kurawa, sepupunya. Nafsu kekuasaan Kurawa atas takhta Astinalah yang menjadi sumber masalah.
Semula, Pandawa dan Kurawa hidup rukun dan saling mengasihi. Mereka ialah para pangeran keturunan (cucu) Prabu Kresnadwipayana. Pandawa dan Kurawa lahir dan tumbuh serta bermain bersama dan menikmati masa-masa kecil mereka hingga remaja di lingkungan istana.
Pandawa ialah nama keluarga anak Pandu-Kunti/Madrim. Mereka terdiri atas lima orang, yakni Puntadewa, Bratasena, Permadi, Tangsen, dan Pinten.
Kurawa ialah nama keluarga putra pasangan Drestarastra-Gendari yang anggotanya berjumlah seratus orang. Drestarastra dan Pandu ialah kakak-adik putra Kresnadwipayana. Mereka memiliki saudara kandung lain ibu yang bernama Yamawidura.
Sengkuni-ah biang kerok yang mengacaukan kehidupan bangsa Astina. Pandawa dan Kurawa yang semula guyub ia bikin jadi bermusuhan. Ia olah Kurawa menjadi pribadi-pribadi yang sangat membenci Pandawa. Masyarakat pun terbelah menjadi dua kelompok yang berhadap-hadapan. Mereka para pendukung Pandawa dan Kurawa.
Permusuhan Kurawa dengan Pandawa mulai terjadi ketika Resi Durna menggelar pendadaran (ujian) siswa Padepokan Sokalima. Gelanggang yang dimaksudkan guna menguji sejauh mana ilmu yang diberikan Durna kepada muridnya (Pandawa dan Kurawa) telah terserap, berubah menjadi arena perkelahian yang menjurus ke aksi pembunuhan.
Sengkuni siang-malam mengindoktrinasi Kurawa bahwa Pandawa harus dihabisi. Itu satu-satunya jalan yang harus ditempuh untuk menguasai Astina. Karena hanya dengan berkuasa, Kurawa bisa menikmati hidup.
Meski skenario pembunuhan terselubung terhadap Pandawa di Sokalima itu terkuak, Kurawa tidak berhenti berlaku keji. Dengan dimentori sang paman, Sengkuni, Kurawa terus-menerus mengancam kematian Pandawa.
Upaya dan tindakan menghabisi Pandawa itu bukan hanya dengan kekuataan sendiri. Kurawa juga berulang kali meminta sraya (bantuan) pihak lain yang bersedia diajak bekerja sama dengan dijanjikan upah. Tapi, berbagai aksi jahat tersebut selalu kandas, Pandawa tetap hidup.
Membangun Amarta
Sadar menjadi target pembunuhan, Pandawa berniat membalas. Itu kerap diutarakan Bratasena. Namun, niat itu selalu dicegah oleh ibu mereka, Kunti. Bukan hanya melarang atau tidak mengizini, Kunti malah menasihati putra-putranya untuk senantiasa memegang teguh nilai-nilai keutamaan hidup meskipun tantangan yang dihadapi begitu berat.
Maka, pilihan yang mesti ditempuh ialah tidak bersentuhan lagi dengan Kurawa, menyingkir. Caranya, meninggalkan Astina. Keinginan ini mendapat dorongan ketika Drestarastra, yang menjadi penguasa ad-interim pascameninggalnya Pandu, memberikan lahan kepada Pandawa untuk membangun rumah (negara). Lahan itu berupa hutan bernama Wanamarta.
Drestarastra mengambil kebijakan itu sebagai solusi karena Astina telah dikuasi anak-anaknya. Ia tetap berkeinginan Pandawa dan Kurawa hidup rukun sebagai saudara sepupu meski harus berpisah tempat tinggal.
Pandawa kemudian bahu-membahu membabat Wanamarta. Kunti mewanti-wanti Pandawa agar menjaga lingkungan. Tidak sembarangan menumbangkan pohon dan mengenyahkan hewan penghuni, juga bukan hanya terhadap yang kasat mata, melainkan makhluk yang tidak kelihatan dengan mata telanjang.
Drestarastra menawarkan bantuan tenaga prajurit dan logistik, tapi Pandawa menolak. Bratasena menegaskan negara yang ia bangun bersama saudaranya jangan sampai sedikit pun ada 'virus' Astina (Kurawa). Pandawa pun bertekad berswasembada tanpa bantuan dari pihak manapun.
Proses membabat Wanamarta itu tidak mudah. Mereka mendapat hadangan siluman yang menguasai belantara tersebut. Namun, karena ketulusan Pandawa membangun negara bermartabat dan beradab, siluman elite yang berpengaruh di hutan itu akhirnya malah membantu hingga tuntas.
Negara yang mereka bangun secara mandiri itu diberi nama Amarta alias Indraprastha. Dalam perkembangannya, negara ini kemudian kuncara akan kemakmurannya, yang gemah ripah loh jinawi, subur sarwa tinandur, murah sarwa tinuku. Negara yang kuat dan rakyatnya hidup tenteram.
Akibatnya, banyak rakyat Astina yang mimilih pindah kewarganegaraan Amarta. Astina di bawah rezim Duryudana semakin tenggelam pamornya. Rakyat merasa tidak nyaman karena para pemimpin dan elite negara hanya memburu kebutuhan dan kenikmatan masing-masing.
Inilah yang membuat Duryudana murka. Ia pun kemudian bernafsu menguasai Amarta. Perampasan Amarta berhasil lewat permainan dadu yang penuh tipu muslihat. Namun, kodratnya Pandawa kembali mendapatkan kekuasaannya atas Amarta, dan juga Astina, lewat perang Bharatayuda.
Budaya luhur
Kisah Pandawa membabat Wanamarta dan membangun negara baru di tempat tersebut merupakan lambang hijrah. Para putra Pandu itu tidak sudi lagi bersentuhan dengan Astina yang sudah kotor karena menjadi 'rumah' rezim zalim. Mereka memulai hidup baru di negara yang dibangun dengan kekuatan sendiri.
Wasiat Kunti kepada Pandawa untuk tidak membalas permainan Kurawa mengandung pesan bahwa keburukan tidak harus dihadapi dengan keburukan. Pandawa mesti keluar dari jerat lingkaran itu. Meninggalkan setiap keinginan berperilaku nista meski terus menerus dihinakan.
Dalam konteks kebangsaan, hijrah yang digelorakan Presiden mesti dimaknai sebagai upaya 'revolusi mental' bangsa ke arah budaya luhur. Bangsa ini mesti menanggalkan semua ketidakberadaban dalam segala bentuknya, karena itu bukan jati diri kita. Hijrah seperti itulah yang dilakukan Pandawa. (M-2)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved