Headline

Pansus belum pastikan potensi pemakzulan bupati.

Hukum Gojali Suta

ONO SARWONO
28/10/2018 06:25
Hukum Gojali Suta
()

'NGERTI hukum jebule ngrusak tatanan (Tahu hukum tapi ternyata malah merusak tatanan)'. Ini bagian lirik tembang berjudul Jaman Edan karya dalang kondang Ki Manteb Soedharsono. Pesan cuplikan syair ini rasanya masih konteks dengan situasi kebangsaan saat ini.

Banyak elite, yang tentunya kaum cerdik-pandai, memberikan contoh yang tidak elok dalam bidang hukum. Mereka kerap melakukan perlawanan terhadap hukum yang sedang menjeratnya. Mereka pun kadang pula mengerahkan massa untuk menekan atau menakut-nakuti penegak hukum.

Bagaimanapun, penegak hukum (negara) mesti tegak berdiri. Jangan ada keraguan dan kebimbangan untuk memproses tuntas siapa pun anak bangsa yang diindikasikan melanggar hukum. Equality before the law. Ini tidak hanya persoalan profesionalisme dan integritas penegak hukum, tetapi juga merupakan laku yang mulia.

Samba-Hagnyanawati

Dalam dunia pakeliran, penegakan hukum tanpa pandang bulu dan tegas pernah terjadi di Negara Dwarawati. Hukum benar-benar hadir dan adil. Hukum melangkah tegak meski pelanggar hukum memiliki kesaktian yang luar biasa, bahkan anak sang raja.

Alkisah, Prabu Boma Narakasura alias Sitija tampak murung. Ia mondar-mandir di sitihinggil istana Trajutrisna dengan tangan mengepal. Sejumlah nayaka praja yang ketika itu sedang sowan pun larut dengan kesedihan sang raja. Suasana mendung menggelayut yang menyelimuti negara itu pun seperti mencapai puncaknya.

Bukan rahasia lagi, kesedihan Boma karena rumah tangganya sedang dilanda masalah pelik. Istrinya, Dewi Hagnyanawati, berselingkuh dengan Samba, alias Wisnubrata, yang ialah adiknya sendiri lain ibu. Bahkan, kedua insan itu secara terbuka menyatakan saling jatuh cinta.

Yang lebih membuat Boma amat sedih dan kecewa, Hagnyanawati telah kumpul kebo dengan Samba di Dwarawati.

Samba sebenarnya bertempat tinggal di Kesatriyan Parang Garuda. Namun, karena menyadari skandal cintanya dengan kakak ipar sangat berisiko, ia memutuskan untuk sementara berada di istana Dwarawati. Ia ingin mendapatkan perlindungan dari sang bapak.

Tiba-tiba, Boma duduk di singgasana sambil meraba-raba kening. Sesaat kemudian, Boma membuka pembicaraaan. Ia mengatakan akan menikahkan kedua insan yang dimabuk asmara itu sehingga persoalannya selesai.

Patih Pancatyana dan nayaka praja lain yang berada di tempat tersebut menengadah, memandang Boma dengan rasa tidak percaya. Kenapa sang raja begitu lemah, padahal Samba telah mempermalukannya. Bukan hanya bagi harga diri sang raja, melainkan juga seluruh rakyat Trajustisna.

Boma menjelaskan bahwa itu merupakan jalan keluar terbaik, meski terasa pahit. Ia mengaku itu dilematis. Satu sisi, Samba telah menginjak-injak martabatnya. Di sisi lain, ia tidak bisa memungkiri bahwa Samba ialah adik yang paling ia sayangi.

Menurutnya, apalagi Hagnyanawati tidak memiliki cinta kepada dirinya. Akan sia-sia bila rumah tangga tanpa cinta dipertahankan. Maka dari itu, untuk kebaikan bersama, ia rela melepas istrinya dipinang adiknya.

Untuk menindaklanjuti, Boma mengirim utusan, Ditya Maudara dan Ditya Ancakogra, ke Dwarawati. Misinya membawa Samba dan Hagnyanawati ke Trajutrisna untuk dinikahkan secara resmi sebagai suami-istri.

Kerasukan roh Bomantara

Di tempat terpisah, di Dwarawati, Prabu Kresna sedang mengadakan pertemuan dengan patih Udawa dan senapati Setyaki. Mereka sedang mendiskusikan perilaku Samba yang dinilai nerak (melanggar) norma dan etika, memadu kasih dengan kakak iparnya sendiri.

Belum rampung pembicaraan, dua utusan Boma menghadap. Keduanya kemudian menyampaikan maksud kedatangannya kepada sang raja. Semula, Kresna mempertanyakan, kenapa Boma tidak datang sendiri.

Boma ialah anak Kresna dari istrinya, Dewi Pertiwi. Samba, anak dari permaisuri Jembawati. Selain keduanya, Kresna masih memiliki anak lain, yakni Gunadewa, Setyaka, dan Siti Sendari.

Kresna mengizinkan Samba dan Hagnyanawati dibawa ke Trajutrisna. Namun, sesungguhnya ia sudah mengerti apa yang akan terjadi. Kresna merasa dirinya hanya titah yang tidak bisa lari dari kodratnya.

Sesampainya di Trajutrisna, Samba dan Hagnyanawati disambut hangat Boma. Keduanya sempat ketakutan akan kemungkinan kemarahan sang kakak. Tapi, perasaan itu hilang setelah Boma mengatakan dirinya ikhlas akan menikahkan keduanya untuk mengakhiri drama memalukan itu.

Namun, sebelum prosesi pernikahan dilakukan, Pancatyana kembali memprovokasi sang raja akan harga diri dan martabat Boma. Bagaimanapun, Samba terang-terangan telah menampar muka sang raja.

Muka Boma berubah memerah. Jiwanya dirasuki sukma Bomantara, yang dibunuh Sitija. Niat baik dan tulus Boma akhirnya tanggal. Di depannya, Samba bukanlah adiknya lagi yang ia sayangi tetapi iblis laknat. Kemudian dengan kemarahan luar biasa, ia menggelandang Samba.

Samba diseret, diinjak, dan digebuki. Bahkan seluruh tubuhnya disempal-sempal hingga tidak berbentuk lagi. Boma melakukan pembunuhan keji. Tidak ada perikemanusiaaan karena memperlakukan Samba bak binatang.

Tewasnya Samba dengan cara seperti dicabik-cabik itu terdengar hingga Dwarawati. Maka dari itu, Kresna pun menyatakan menyatakan hukum harus tegak. Boma dinyatakan telah melakukan pelanggaran hukum berat.

Namun, Boma menolak apapun hukuman yang akan dijatuhkan kepada dirinya. Ia malah menantang Kresna. Maka, terjadilah peperangan sengit antara ayah dan anak. Dalam pakeliran, perang Kresna dengan Boma itu terceritakan dalam lakon Gojali Suta.

Kepastian hukum

Boma akhirnya mati setelah dipanah Kresna dengan senjata cakra. Sebelumnya, berulang kali Boma tidak bisa mati karena badannya masih menyentuh tanah. Ini berkat keampuhan aji pancasonabumi pemberian ibunya. Akan tetapi, dengan bantuan Gathotkaca, jasad Boma ditaruh dalam anjang-anjang (sejenis jaring) sehingga tidak menyentuh tanah.

Poin dari kisah ini adalah tegaknya hukum. Kresna (negara) tidak bimbang dan ragu menindak pelaku pelanggaran hukum meski itu adalah kulit dagingnya sendiri. Inilah yang disebut hukum tidak pandang bulu.

Itu digambarkan dengan Kresna, sang bapak, yang tega membunuh anaknya. Sang bapak menyingkirkan cinta dan kasih sayangnya kepada sang anak.

Kisah ini memberikan pesan bahwa hukum mesti berjalan sesuai dengan aturannya. Tidak ada kegamangan penegak hukum menindak pelaku pelanggaran hukum yang membalela karena memiliki kesaktian luar biasa. Inilah sejatinya roh kepastian hukum. (M-2)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya