Headline
Pansus belum pastikan potensi pemakzulan bupati.
Kawarjangsa
Berduyun-duyun dengan kaki telanjang
Mendaki-daki disetiap jengkal telapak sendiri
Berkejaran kepastian dari bayang
Tak menyadari sampai ufuk fajar tenggelam
Mata lubuk hati menjadi jalan
Melangkah berliku suara dan bunyi
Melarikan kemapanan hening dan sunyi
Tiada sampai keletihan terobati
Memunggut serpihan-serpihan kehidupan
Aliran-aliran ketegaran turun mendekat
Menandakan kebebasan dengan tangisan
Pilu dan kasih kadaluwarsa
2018
Jalan
Ada sebuah jalan
Jalan yang biasanya dilewati oleh anak-anak sepulang
sekolah
Jalan yang berupa susunan batu kerikil yang ditata
Jalan yang selalu menemani anak-anak sekolah akan
berangkat menuju sekolah
Jalan yang sekarang sudah renta,
berlubang disana sini dan kerikil-kerikilnya sudah
menjadi pasir dan tanah
Jalan yang sekarang tidak pernah ada lagi yang
melewati,
kesunyian di kala berlubang menginginkannya datang
pada jalan kenangan
2016
Kedatangan
Apa yang mengingatkanmu pada kerinduan jantung
kota
Bila datang hanya dalam roman cerita dan buaian
kisah semu
Adakah dirimu diantara suara penjual kaos di trotoar
Yang menawarkan senyum tuk singgah
Aku kira kau lupa dengan kota ini
Yang mengajarkan kesetiaan
Karena saat ini keyakinanku masih sama dengan awal
kita bertemu
Kau adalah kedatangan aku dari kenangan lapuk
dimakan usia
2017
Rumah
Sekeping tanah
Pencari arah
Kebebasan menuju keterbatasan
Kepulangan dari kepergian
Bersinggah dalam ayunan
Menjelajah untuk pukulan
Kepada diri manusia,
papan kembali ialah sendu gurau mereka
2018
Belangga Pertemuan
Belum lama bukan peduli,
aku menunggu ketukan pintu hati
Kan ku terima lagi kedatangan,
kepada sepi yang menyertai
Angin berlalu,
meredam segala rasa penghantar bisu
Kala ranting dedaunan bergesek
Tuk menemui pintu lara
Tak terawat dan jarang terketuk lewat sapaan kabar
Berharap waktu melantunkan rekah dari merahnya
Datang pada setiap jiwa-jiwa persamaan
Nasib dan fi kiran menyatu
Tentang nurani kasih
Tentang mengerti rindu
2018
Rakeling
Fajar pagi mendatangkan hari suci
Gelombang-gelombang air lantas pergi
Menyisakan kilatan api
Meneteskan embun patahan ranting
Kayu menari di atas angin
Keberadaan jendela menutupi takdir
Kegelapan dari kaki langit
Berharap sinar akan terbit
Senja lebih memihak kepada timur
Bermunculan mengajak berdiri
Layu-layu terciprat oleh kebenaran
Benderang menjahit warna-warni luka
Genggam erat tangan ini
Sampai waktu kematian menjemput raga
Bertatap muka, serasa sejiwa
Bercinta di tepian, kubang permainan yang kau buat
sendiri
2018
Sandaran
Dosa tak ada yang memiliki
Karena memang sudah ada yang mati
Sepi batin bukanlah darimu, namun dari aku
Rangkulannya ialah kedamaian
Kecupanmu adalah kehampaan
Kau mencinta,
dan aku tak akan meninggalkannya
Aku tega mengungkap dosa ini
Kejujuran hati, aku tak kuasa menanggung derita kini
Cinta untuknya dari diriku
Ingin aku menjadi dua, agar tak mendua
Untuk tetap menjadi sandaranmu
Dan bersandar dari kepura-puraan kepadanya
2017
Harapan
Bergetar pada berjubel kecupan lisan
Mengingat angan merengkuh kepastian
Bisu gundah ditepian kekecewaan
Sudah lupa cara mengeja
Berpaling kecamuk tawaran tanda
Aku menjadi jalan setapak dari kaki langit
Berhamburan menggulung angin-angin suci
Bahagia sulut ambang keniscayaan diri
Kau bukan tangan-tangan belokan petunjuk arah
Mengurai dari kumpulan kerikil-kerikil dendam
menuju tanah
Kukusan pecah rentang masa bercumbu
Lenyap padam tak kunjung menemu
Sinar jingga penuntun,
mengungkap tengah menyatu
2018
Athif Thitah Amithuhu, lahir di Bantul, 1995. Mahasiswa
Ilmu Sejarah Universitas Negeri Yogyakarta ini pernah
menjadi redaktur buletin sejarah Sanskerta (2013-2015)
dan aktif di Pondok Budaya Kaliopak Yogyakarta (2015-
2017). Puisinya yang berjudul Mengenang Janji Adinda
menjadi bagian dalam buku antologi puisi pilihan
Festival Seni Multatuli 2018. Sekarang aktif mengajar
di Sanggar Pulokadang.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved