Headline
Pansus belum pastikan potensi pemakzulan bupati.
KEMAJUAN teknologi komunikasi telah banyak mengubah perilaku masyarakat luas. Selain masifnya informasi berbasis daring yang diterima lewat media sosial dan berbagai aplikasi semacam Facebook, Twitter, Youtube, dan Instagram, masyarakat juga dapat mengetahui apa saja topik yang sedang hangat dibicarakan dan menjadi perhatian saat itu melalui apa yang diistilahkan dengan trending topic.
Trending topic kini banyak memengaruhi opini masyarakat setiap hari. Di beberapa kasus, masyarakat bahkan latah melakukan hal-hal konyol di luar kebiasaan mereka sekadar untuk ikut-ikutan meramaikan trending topic. Karena itu, muncullah fenomena semacam 'Om telolet Om', ice bucket challenge, atau falling star challenge yang aneh, tetapi mendunia.
Di wilayah lokal, kita juga pernah mendengar fenomena semacam 'ngopi ngapa ngopi'. Setelah itu, yang terakhir ini muncul istilah 'seberapa geregetnya kamu' yang tanpa sadar dapat memengaruhi perilaku kebahasaan kaum muda kita ke depan.
Sejauh yang dapat saya telusuri, fenomena seberapa geregetnya kamu itu dimulai dengan penyebaran istilah tersebut lewat video Youtube dan Instagram. Ilustrasi yang ditampilkan sebenarnya cukup sederhana, berupa percakapan di antara dua orang. Seorang memulai pertanyaan, "Seberapa geregetnya kamu?" dan dijawab temannya dengan cerita yang singkat, tapi terdengar konyol, bodoh, dan aneh. Lihat saja contoh berikut ini.
"Seberapa geregetnya kamu?"
Lalu dijawab, "Kemarin gue jemur baju."
Terus? "Pas hujan deras...."
Memang celoteh semacam itu terasa sepele jika dianggap sebagai sebuah hiburan semata. Akan tetapi, jika dilihat dari segi kebahasaan, ada beberapa hal menarik yang bisa kita petik dari fenomena celotehan ini. Pertama, dari segi kelas kata gereget. Dalam KBBI, kata gereget merupakan kata benda (nomina) yang berarti 'nafsu (semangat, kemauan) untuk berbuat'. Akan tetapi, jika dilihat dari isi dialog 'seberapa geregetnya kamu', kata gereget seolah diartikan mereka yang berdialog itu sebagai kata yang konyol, bodoh, atau aneh.
Apabila dikaitkan dengan sikap masyarakat kita yang cenderung permisif terhadap celotehan humor dan kurang peduli dengan masalah kebahasaan, bisa jadi akan terjadi pergeseran makna kata gereget di kemudian hari dari definisi seperti yang tertera di KBBI. Dari makna 'nafsu (semangat, kemauan) untuk berbuat' menjadi bersinonim dengan kata konyol, bodoh, dan aneh.
Yang kedua, penyandingan kata seberapa dengan kata gereget. Dalam kalimat tanya, kata seberapa umumnya dipakai untuk menanyakan bilangan yang mewakili jumlah, ukuran, nilai, harga, satuan, atau waktu. Oleh karena itu, kata seberapa biasanya disandingkan dengan kata sifat (adjektiva), misalnya seberapa tinggi, seberapa jauh, atau seberapa lama. Dalam celotehan seberapa gereget, kata seberapa bukannya disandingkan dengan adjektiva, melainkan dengan nomina (gereget).
Apabila kasus semacam ini dapat diterima di masyarakat, bisa jadi kelak terjadi pula perubahan kelas kata untuk kata gereget, dari nomina menjadi adjektiva. Hal ini jelas akan menimbulkan kekacauan dalam berbahasa.
Fenomena kebahasaan akan makin banyak muncul seiring dengan masifnya informasi di era digital. Perlu kiranya ketegasan dan kerja keras Badan Bahasa untuk selalu memantau dan mengingatkan masyarakat atas adanya fenomena bahasa yang tak lazim ini agar perkembangan bahasa kita tetap berada dalam koridor dan aturan yang berlaku.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved