Headline

Pemerintah merevisi berbagai aturan untuk mempermudah investasi.

Fokus

Hingga April 2024, total kewajiban pemerintah tercatat mencapai Rp10.269 triliun.

Batik yang Melintas Generasi

Suryani Wandari
28/10/2018 00:30
Batik yang Melintas Generasi
(DOK ADE OYOT)

SEKILAS gaun tersebut memang sangat kental dengan potongan cheongsam, terutama dengan model kerah berdiri dan siluet yang pas badan. Namun, dengan tambahan lengan panjang bersiluet semi balon, serta material batik prada yang kemudian dipadu bahan tule pada lengan; busana tersebut menjadi kurang tepat untuk hanya disebut cheongsam.

Terlebih dengan detail bordir floral dan aplikasi batuan berwana kontras, karya kolaborasi Iwan Tirta Private Collection (ITPC) dan desainer Mel Ahyar ialah gaun lintas budaya dan zaman.

Koleksi kolaborasi tersebut tampil di panggung Jakarta Fashion Week (JFW) 2019, Kamis (25/10/2018). Dalam konferensi pers yang berlangsung sebelum peragaan, Mel menjelaskan, jika koleksi bertajuk Juan atau yang berarti grace atau kasih/anugerah itu terinspirasi dari kondisi Tiongkok era 1920-an.

"Saat itu Tiongkok kalah dari perang dunia kedua. Banyak anak muda yang tinggal dari negara lain memutuskan pulang dan membangun negeri. Mereka membuat arsitektur interior hingga busana yang khas," kata Mel soal koleksi dalam peragaan bertajuk Nusantara Menjalin Hat, yang digelar dengan kerja sama Yayasan Jantung Indonesia itu.

Keputusan desainer yang menjadi favorit banyak selebritas, termasuk Andien ini, dalam memadukan batik adiluhung Iwan Tirta dengan budaya Tiongkok itu terbukti jitu. Mel mampu menghadirkan busana yang tetap sesuai nafas Iwan Tirta yang mewah dan megah, tapi juga sangat kekinian dan berkarakter.

Mel bukan hanya menggunakan siluet cheongsam, melainkan juga busana modern, seperti coat dress asimetris yang sebagian sisi roknya menggunakan kain tule lipit. Busana dengan material batik pada hitam putih itu menguarkan kesan tangguh, modern, dan juga edgy.

Meski tampak sangat berhasil berkolaborasi dengan jenama yang sudah berdiri sejak 2003, Mel mengaku sempat mengalami kecemasan. Hal itu karena konsep busananya mengharuskan ia memotong batik-batik prada yang cantik.

"Memotong batik prada yang cantik ini selalu menjadi tantangan bagi saya, takut juga merusak filosofi batik itu sendiri. Tapi, saya mikir, kalau tidak berani mencoba nanti jarak ke generasi muda jadinya makin jauh," lanjut Mel yang menggenapkan kesan modern pada koleksinya dengan alas kaki berupa sneakers hitam-putih.

Peragaan tersebut sekaligus menjadi kampanye Go Red for Women yang dibuat ITPC bersama Yayasan Jantung Indonesia. Lewat kampanye itu, mereka ingin meningkatkan kepedulian akan kesehatan jantung.

Warna ceria

Keindahan batik juga terlihat dalam koleksi Lenny Agustin dan Deden Siswanto di JFW 2019. Lenny masih tetap dengan karakter desainnya yang ceria dan playful.

Kali ini perempuan yang kerap berganti warna rambut itu memilih mengangkat batik xoela yang khas Kepulauan Sula, Maluku Utara. Batik itu diolah sesuai dengan tajuk koleksi Wansosa atau yang berarti lebah.

Wujudnya bukan hanya lewat aplikasi hiasan dada berbentuk lebah, melainkan juga dengan siluet balon yang mengingatkan pada tubuh lebah. Siluet itu diterapkan pada rok maupun lengan.

Menguatkan kesan ceria, Lenny memilih palet warna-warni, seperti kuning, biru, juga fuchsia. Selain itu, ia juga menggunakan bentuk heksagonal pada sarang lebah sebagai motif.

Lenny menjelaskan, jika batik yang digunakan merupakan produksi asli masyarakat setempat. "Sekitar 6 bulan, pada akhir 2017 hingga pertengahan 2018, saya melatih masyarakat di sana untuk membuat batik sendiri. Motif lebah dipilih karena daerah ini terkenal dengan madu asli dari lebah di hutan," tuturnya.

Selain itu, filosofi lebah yang selalu bekerja keras bersama-sama untuk menghasilkan sesuatu yang manis dinilai Lenny cocok menggambarkan karakter budaya Sula.

Di peragaan lain pada hari itu, Deden Siswanto memukau dengan batik yang diwujudkan dalam busana bergaya tradisional Jepang. Keindahan koleksinya makin kuat karena batik dipadukan dengan beragam material lain, seperti denim dan tenun.

Bahan-bahan itu kemudian dipadukan lagi dengan teknik perca, blok motif, dan manipulasi kain. Maka hasilnya sesuai dengan tema koleksi itu sendiri, Kagirinaku atau yang berarti tanpa batas.

"Inspirasinya dari Jepang karena memang kebudayaan dan teknik jahit Jepang dengan Indonesia pun tak jauh beda ada teknik patchwork, pattern blocking, hingga tambal-menambal, seperti kain perca yang digabungkan," tutur Deden.

Koleksi ketiga jenama ini pun menyuarakan bahwa batik dan kain adati Indonesia lainnya tidak pernah habis dieksplorasi. Dengan kreativitas tinggi, material tersebut selalu dapat menghadirkan nuansa segar. (M-1)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya