Headline

Kemenu RI menaikkan status di KBRI Teheran menjadi siaga 1.

Fokus

PSG masih ingin menambah jumlah pemain muda.

Setangkai Tubuh Tiga Masalah

Fathurrozak fathurrozak
21/10/2018 08:10
Setangkai Tubuh Tiga Masalah
(DOK. MUHAMMAD ADIMAJA/DEWAN KESENIAN JAKARTA)

"Cinta tidak terlalu penting, yang kau butuhkan hanya mobil dan mal yang lengkap."

TIGA perempuan bersetelan baju terusan hitam, menutup kepalanya dengan plastik merah. Berjalan perlahan menghampiri pancang-pancang gantung di hadapan mereka.

Pancang-pancang gantung itu memang tidak melingkar di leher mereka. Namun, setiap ada penyebutan nama beserta usia, selalu saja ada suara yang terdengar tercekat. Begitu terus berulang. Ada pula yang menjedotkan kepalanya ke dinding, tangannya seolah tampak mengisyaratkan teriakan. Ditingkahi musik yang menegangkan, juga impresi tata cahaya hijau dan merah, berhasil membangun kesuraman targedi bunuh diri di hadapan penonton.

Ketiga aktor perempuan itu, yang kemudian juga muncul satu aktor laki-laki, berpindah dari teras balkon lantai dua Graha Bhakti Budaya, Taman Ismail Marzuki, menuju ke ruang dalam. Mereka mengeksplorasi lantai yang mungkin hampir jarang digunakan untuk pertunjukan. Baju-baju berserakan, kendang tertabuh bertalu-talu.

Seusai mencekam, datang tawa histeria. Warna-warna terang dari baju yang dikenakan, gelagat 'aneh' yang ditunjukkan seolah memberi kita kode, mereka tengah asyik dengan dunianya sendiri. Mengulang-ulang kalimat, repetisi gerakan, memakai busana bertumpuk-tumpuk.

Dialog kembali dibuka dengan rentetan penyebutan nama-nama juga usia. Adegan 'kegilaan' ini, selain memunculkan tawa, juga mengiris keharuan kita, saat seorang aktor memeluk aktor lain, seolah sebagai simbol bahwa orang-orang gila ini juga membutuhkan kasih sayang dan perhatian, atau ketika lagu Pasrah milik Muchsin Alatas dinyanyikan, "Lebih baik aku mati di tanganmu, daripada aku harus bunuh diri."

Seusai berhisteria, penonton digiring menuju kursi nyaman lagi. Kini, pertunjukan Kala Teater dari Makassar ini membawa kita pada layar panggung dengan lanskap matahari terbenam Pantai Losari. Suatu pemandangan yang mungkin kini jarang didapat warga Makassar. Di sini, mereka menggabungkan konsep video dengan pertunjukan langsung. Keempat aktor terkadang tampak berlarian di panggung, lalu muncul di video dengan kostum sama. Dari audio, terdengar suara-suara warga Makassar yang pro dan kontra dengan proyek reklamasi di kota Anging Mammiri itu. Sebuah puisi yang membahas tentang setangkai tubuh kota, mengantar kita pada penutup pentas, dengan bunga-bunga yang telah tersebar.

Proyek Kota dalam Teater

Kala Teater menghadirkan tiga isu Kota Makassar, dari banyaknya kasus bunuh diri, semakin banyaknya orang gila, dan proyek reklamasi. Terangkum dalam fragmen-fragmen trisula lakon Jangan Mati sebelum Dia Tiba, Gila Orang Gila, dan Beri Aku Pantai yang Dulu, naskah karya sutradara Shinta Febriany.

Kala Teater menawarkan pengalaman ketubuhan untuk para penontonnya. Bukan hanya keempat aktor sebenarnya yang pentas. Kita pun diajak untuk merasai ketidak-nyamanan, mengolah tubuh, dengan arena panggung yang memaksa kita mungkin dengan berbagai cara macam duduk, bisa saja kita berjongkok selama pertunjukan dua lakon awal. Bersinggungan dengan tubuh penonton lain.

Pentas Kala Teater menjadi indah dengan kesederhanaan tata artistik, ditunjang dengan konsep pemanggungan yang tampil menyegarkan. Tata cahaya juga tidak begitu mewah, sederhana saja. Dialog-dialog lebih disajikan atas fakta dari hasil riset, juga sajak-sajak milik empat penyair. Ini menjadi bagian dari proyek Kota dalam Teater yang digagas mereka sejak 2015. Kala Teater mengajak kita membaca isu perkotaan yang dihadapi Makassar. Menjadi penutup indah sekaligus reflektif untuk Pekan Teater Nasional 2018, sebagai upaya kita membaca peta seni dan isu di Indonesia. (M-4)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Triwinarno
Berita Lainnya