Headline

Presiden Trump telah bernegosiasi dengan Presiden Prabowo.

Fokus

Warga bahu-membahu mengubah kotoran ternak menjadi sumber pendapatan

Mengubah Dluwang Menjadi Uang

Furqon Ulya Himawan
12/8/2018 03:00
Mengubah Dluwang Menjadi Uang
(MI/FURQON ULYA HIMAWAN)

SEGEPOK koran bekas teronggok di pojok rumah. Pemiliknya, Briane Novianti Syukmita, 28, tidak berniat membuangnya. Dia justru selalu berburu koran atau majalah bekas. Hasil buruannya itu ia kumpulkan dan dikreasi menjadi kerajinan tangan ramah lingkungan dan bernilai jual.

“Daripada menjadi limbah, mending saya olah menjadi kerajinan,” ujar perempuan yang karib disapa Novi, saat ditemui di rumahnya, Kamis (2/8). Dluwang, itu nama usaha kerajinan yang Novi kembangkan. Dalam bahasa Jawa, dluwang artinya kertas. Nama itu, Novi pakai karena kerajinannya berbahan dasar kertas koran dan majalah bekas.

Awalnya, Novi mengaku melakukan pengolahan limbah kertas bersama teman-teman kuliahnya di UGM pada medio 2010. Kala itu mereka melihat banyak kertas teronggok di kampus. Ada kertas koran, majalah, dan paling banyak tumpukan skripsi. Mereka iseng mengumpulkannya dan melakukan berbagai eksperimen pengolahan. “Kita membuat tas,” kenangnya.

Hasil eksperimen mereka ternyata banyak yang berminat. Satu-persatu pesanan datang dan mulai ramai. Sejak itu mereka bersama-sama mengembangkannya. Namun, setelah berjalan dua tahun, usaha itu tak berjalan maksimal karena urusan kuliah. Sampai akhirnya Novi mendapatkan gelar Sarjana Filsafat UGM pada 2012.

“Lalu usaha itu saya teruskan sendiri di rumah,” ujarnya.

Di rumahnya yang terletak di pinggir Kali Code, Ledok Tukangan, Kota Yogyakarta, Novi mengembangkan Dluwang. Berburu limbah kertas koran, majalah, dan tabloid, lalu mengolahnya menjadi beragam produk, seperti tas, sandal, bingkai kaca, dan miniatur sepeda ontel, Tugu Pal Putih, dan miniatur lainnya.

Dengan sabar Novi menekuni usahanya. Persoalan modal juga pernah membuatnya putus asa. Rasanya mustahil lulusan filsafat menjadi pengusaha kerajinan yang sukses. Apalagi ketika dia melihat teman-temannya terlebih dahulu sukses dengan menjadi pegawai negeri atau karyawan di sebuah perusahaan. “Orangtua juga ingin saya mendaftar jadi PNS,” katanya.

Berkat ketekunan dan kesabarannya, kini Novi merasakan hasilnya. Dalam satu bulan dia bisa menjual sandal 400 pasang dengan harga rata-rata Rp25 ribu per pasang. Belum penjualan tas yang laku 100 buah dalam sebulan, dengan harga antara Rp40 ribu sampai Rp250 ribu.

“Kalau dihitung omzet perbulan bisa untuk beli motor,” katanya sambil tertawa. Dengan omzet perbulan rata-rata belasan juta, Novi bekerja sama dengan 4 orang pengrajin. Dari awal Novi memang berniat menjadikan usaha Dluwang sebagai bisnis yang melibatkan masyarakat sebagai upaya pemberdayaan ekonomi.

Berburu kertas
Sebagai pemilik kerajinan berbahan dasar kertas, Novi selalu melakukan perburuan kertas. Dia juga membuat eksperimen kertas-kertas yang dia dapatkan. Hasilnya, tidak semua kertas bisa dia gunakan. Hanya kertas koran, majalah, dan tabloid. “Harus kertas yang berserat,” katanya.

Proses selanjutnya ialah pemilihan desain. Cara memotongnya pun harus sesuai serat kertas dan jangan berlawanan arah. Jika berlawanan arah, kertas cepat hancur dan rusak. Kertas-kertas yang telah terpotong kemudian dilinting dengan bantuan lidi atau bambu dengan ukuran yang telah disesuaikan. Bagian ujung diberi lem, dilekatkan pada lidi atau bambu lalu dililitkan melingkar. Proses itu Novi menyebutnya melinting.

“Setelah melinting, kertas ditenun,” ujar Novi berbagi ilmu. Dalam menenun, Novi menggunakan tenun manual atau ATBM. Pekerjaan itu dia pasrahkan kepada masyarakat di daerah Seyegan, Sleman. Hasil tenunan, kertas-kertas yang tadinya lintingan kecil-kecil, menjadi seperti kain yang siap dibentuk berbagai macam produk. Namun, sebelum dipola, kertas harus dilapisi lem terlebih dahulu sampai terasa kaku. Tujuannya agar kertas menjadi kuat dan benar-benar seperti kain tenun. “Setelah itu baru dibentuk sesuai pola.”
Proses selanjutnya, finishing. Novi mewanti-wanti untuk tidak menggunakan pewarna cat minyak karena bisa menutupi karakter kertasnya. Warnailah dengan pewarna makanan atau tekstil.

Terakhir, produk yang telah diwarnai atau ditambahi aksesori itu, dilapisi lem kayu yang telah diencerkan. Setidaknya sampai tiga kali agar produknya benar-benar kuat.  Keawetan produk, bergantung pemakaian. Jika dipakai dalam batas kewajaran, baik di dalam atau di luar rumah, rata-rata sandal produksinya bisa tahan sampai 2 tahun. Perawatannya pun mudah, jika sandal terkena air atau kehujanan. Cukup biarkan saja sampai kering. Untuk tas, bersihkan saja dengan tisu basah.(M-4)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Dedy P
Berita Lainnya
Opini
Kolom Pakar
BenihBaik