Headline

Kecelakaan berulang jadi refleksi tata kelola keselamatan pelayaran yang buruk.

Fokus

Tidak mengutuk serangan Israel dan AS dikritik

Latih Logika dan Mandiri

Rizky Noor Alam
22/7/2018 14:45
Latih Logika dan Mandiri
(DOK PRIBAD)

WAKTU masih menunjukkan pukul 09.00 WIB, tapi ruangan kelas di pertokoan kawasan Pondok Indah, Jakarta Selatan, Sabtu (14/7) ini sudah ramai. Padahal, pada Sabtu anak-anak sekolah libur. Namun, delapan anak ini semangat mendengarkan presentasi tutor mereka dan mempraktikkannya di laptop mereka. Anak-anak usia 9-15 tahun itu tengah mengikuti kursus coding di Codingcamp.id.

Kursus itu menjadi wadah literasi komputasi bagi anak-anak yang tertarik dengan dunia teknologi informatika (TI). Seperti Ryno yang ikut karena ingin mengasah kreativitasnya. Remaja usia 13 tahun yang sudah setahun mengikuti kelas tersebut mengaku tidak kesulitan saat membuat gim. Keseruan belajar coding juga dirasakan Arel, 10.

"Ikut kelas coding kelihatannya seru dan mau ikut belajar karena papa ku dulu juga ikut coding karena bekerja di IT," ungkap Arel yang sudah mengikuti kursus sejak November 2017 tersebut.

Antusiasme tidak hanya anak-anak, Mufti, 46, salah satu orangtua yang mendampingi tampak senang. Ia beralasan mengikutkan anak ke kursus coding agar anaknya lebih peka terhadap perkembangan zaman terutama tren pasar yang saat ini condong ke arah TI. Selain itu, menurut Mufti, kelas coding dapat membantu membangun nalar logika sang anak.

"Belajar coding bukan hanya sekedar coding, tapi di belakangnya itu lebih kepada bagaimana pikiran anak itu bisa terbentuk sejak usia dini sehingga logikanya benar-benar jalan. Harapannya dengan coding ini membantu nalar logikanya agar lebih berkembang," jelas Mufti.

Layaknya anak pada kelas 5 SD, kata Mufti, anaknya senang bermain gawai. Namun, ia tidak ingin anaknya terjebak sebagai user. "Kenapa tidak diarahkan agar mendalaminya sehingga ke depannya dia bisa menjadi developer kita kan tidak tahu," tambahnya.

Setelah enam bulan sang anak mengikuti kursus coding, ia melihat anaknya lebih mandiri. "Sekarang saya melihat dia lebih independen, bisa mencari solusi sendiri, jadi mencoba mencari jalan keluar sendiri dulu, logikanya sudah lebih mature," ungkap Mufti.

 

 

Tempat kursus yang sudah beroperasi 5 tahun ini didirikan Kurie Suditomo. Menurut cofounder and team leader of Codingcamp.id itu, ia membuka kursus coding dari pengalaman pribadinya. Kedua anaknya tertarik gawai dan ia melihat kondisi itu tidak bisa dilawan karena tuntutan zaman. "Saya pelajari apa yang kira-kira dapat memberikan pelajaran anak tentang komputer, lalu saya bertemu satu situs code.org. Di sana saya menemukan (jawabannya) lalu saya berdiskusi dengan teman dan sepakat membuat percobaan kepada anak-anak dan ternyata mereka suka. Ya sudah dan lanjut terus karena peminat selalu ada," jelas Kurie.

Coding, lanjut Kurie, ialah literasi komputasi bagi anak yang tidak bisa dijawab para orangtua. Kurie menyimpulkan, coding dalam artian yang lebih luas ialah bagian dari literasi komputasi. Anak-anak saat ini sebenarnya sudah sangat dekat dengan hal tersebut dan tidak dapat menemukan jawabannya di sekolah maupun di rumah.

"Orangtua yang datang kebanyakan mengeluh anaknya kecanduan gim, tapi saya memberikan perspektif yang berbeda bahwa anaknya adalah anak yang adaptif dengan abad ke-21. Anak-anak mengunakan Youtube untuk belajar dan ada semacam cara pembelajaran yang berbeda," ungkapnya.

Tidak hanya Codingcamp.id yang mewadahi kebutuhan anak-anak zaman now yang memang haus akan teknologi. World Wide Web Foundation dan Goethe Institut Jakarta baru-baru ini menyelenggarakan lokakarya literasi digital untuk 22 siswi SMA pada 10-12 Juli lalu. Lokakarya ini dilakukan guna mengatasi kesenjangan gender dalam pendidikan IT dan mendorong pemberdayaan perempuan di Indonesia. Pasalnya laporan World Wide Web Foundation berjudul Women's Rights Online menunjukkan kesenjangan gender di bidang digital cukup signifikan di Indonesia, dengan rata-rata 20% perempuan Indonesia memiliki akses internet.

Prestasi

Kedekatan anak dengan gawai tidak selamanya buruk. Terbukti anak pasangan Adam Bachtiar dan Tia ini berhasil meraih juara 1 Indonesia Cyber Kids Camp 2017, di Bandung. Jasmine Nurul Izza Bachtiar mewakili SKACI (Sekolah Komputer Aku Cinta Inovasi) Bintaro dan berhasil menang di ASEAN Cyber Kids Camp 2017 di Manila. Siswi SD Highscope Indonesia Bintaro ini membuat animasi dengan menggunakan perangkat lunak SCRATCH dan ditampilkan pada Fablab dengan Sketchup and 3D Printing.

"Jasmine sering utak-atik jika ayahnya kerja (di dunia IT). Ia tertarik komputer, terus ia juga suka melihat animasi jadi ia bilang pengin bisa buat seperti itu. Jadi kami mencari kursus yang bisa mengajari anak-anak animasi logika itu," terangnya.

Meski anaknya berprestasi, Tia memberikan batasan dalam menggunakan internet dan gawai. Ia juga mengarahkan Jasmine untuk bertanggung jawab atas kepercayaannya. "Harapannya anak-anak bisa mengejar cita-cita dan keinginannya dengan cara yang baik. Terpenting Jasmine bisa bersenang-senang tanpa perlu memikirkan beban," tuturnya.

Adam pun mendukung anaknya dengan proses diskusi. Melalui diskusi ia bisa membantu anaknya menyelesaikan masalah dan merangsang pola pikir dan logika Jasmine. Menurutnya, tugas orangtua hanya mengarahkan dan memberikan pandangan, bukan menentukan pilihan atau mendikte sesuai keinginan orangtua.

"Bisa dibilang punya ego sebagai orangtua. Makanya kami berikan keputusan akhir pada anak. Tugas kami hanya memberikan gambaran sampai ke batasan-batasan tertentu. Jikapun terlalu melenceng, kami ingatkan, tetapi jika masih dalam koridor yang benar, tentunya kami biarkan saja," lanjutnya.

Kesuksesan di dunia digital juga diraih Rafa Jafar (RJ). Remaja 15 tahun ini sudah memikirkan masalah sampah elektronik di sekitarnya. Ibunda RJ, Faradhiba Tenrilemba, saat dihubungi Media Indonesia Senin (16/7) mengungkapkan ketertarikan putranya dengan nasib gawai bekas.

"Saat kelas 5, memang di sekolahnya ada karya tulis dan RJ memilih tema Over use electronic devices, lalu dia buat survei berapa gadget yang dipunyai orang-orang, seperti apa pemakaiannya, dan kalau rusak bagaimana, dan dia juga pergi ke lokasi-lokasi lebih lanjut, misalnya, dulu ke Nokia Care Center serta ke tempat pembuangan akhir untuk menanyakan nasib barang elektronik yang dibuang tersebut," jelas Fara.

Di usia 11 tahun, RJ menerbitkan buku berjudul E-Waste (sampah elektronik). Baru-baru ini RJ menerbitkan buku keduanya. Menurut penuturan sang ibu, RJ berkomitmen terus melakukan sosialisasi mengenai sampah elektronik untuk menumbuhkan kesadaran kepada masyarakat umum.

Di tengah meroketnya penggunaan gadget pada anak-anak, Fara tidak terlalu khawatir dengan RJ karena baginya RJ sudah memiliki pemahaman yang baik dalam penggunaan gadget. (M-3)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Vicky
Berita Lainnya