Headline
Tidak ada solusi militer yang bisa atasi konflik Israel-Iran.
Para pelaku usaha logistik baik domestik maupun internasional khawatir peningkatan konflik Timur Tengah.
SEMBURAT matahari belum juga muncul di ufuk timur. Langit pun masih redup dihiasi pekatnya mendung yang menggantung. Hembusan udara segar semilir datang dari arah tepi Bengawan Solo. Dinginnya hawa yang menusuk tulang itu tidak membuat keinginan para santri kendur. Walaupun rasa kantuk masih mendera.
Namun, itu tidak menyurutkan semangat mereka untuk mengkaji kitab kuning. Selepas salat Subuh, mereka bergegas menata duduk. Beberapa di antaranya bergegas memacu langkah. Dengan cepat, seisi ruang musala itu dipenuhi ribuan santri. Sebagian bersila di serambi musala.
Tidak sedikit yang rela bersila di halaman, hingga asrama tempat tinggal. Begitu ngaji dimulai, suasana mendadak hening. Mereka begitu hikmat mendengarkan pengajaran yang disampaikan melalui
pengeras suara. Ribuan santri itu seolah tenggelam dalam mereguk ilmu pengetahuan.
Pemandangan di Pondok Pesantren Langitan di Desa/Kecamatan Widang, Kabupaten Tuban, Jawa Timur, itu hanya muncul selama Ramadan. Pagi itu, sekitar 3.000 santri mengkaji kitab Bidayatul Hidayah yang disampaikan KH Abdullah Munif Marzuki, salah satu Pengasuh Ponpes Langitan.
Inilah yang disebut ngaji pasanan, sebuah tradisi yang telah dilakukan di Langitan sejak puluhan tahun silam. Kata pasa berarti puasa. Ngaji pasanan atau mengaji pada bulan puasa dilakukan setahun sekali laiknya pesanten kilat. Para santri pasanan, umumnya ialah santri pesantren lain yang sedang mendapat tugas mondok selama Ramadan.
Lurah Ponpes Langitan, Ustaz Saefudin menambahkan, setiap Ramadan, tempatnya selalu jadi tujuan santri dari berbagai daerah di Nusantara. Selain Tuban, mereka juga datang dari Lamongan, Bojonegoro, Gresik, Ngawi, Surabaya, Sidoarjo, dan sejumlah kabupaten di Jawa Tengah. Beberapa santri bahkan sengaja datang jauh-jauh dari Sumatra dan Kalimantan.
“Mereka umumnya ingin merasakan mengaji di Ponpes Langitan, pesantren tua yang telah didirikan sejak 1852, jauh sebelum Indonesia merdeka,” sebut Saefudin.
Para santri luar yang turut ngaji pasanan, juga tidak dipisahkan dengan santri yang menetap. Mereka membaur dengan para santri lainnya dan tinggal di 11 asrama yang dimiliki pesantren.
Ngaji pasanan di Langitan dimulai awal Ramadan hingga 17 hari ke depan. Meski berstatus santri musiman, pesantren tetap memperlakukan kode etik dan tata tertib yang harus dipatuhi.
Dalam buku penuntun santri yang diberikan ke santri masingmasing, terdapat aturan bagaimana santri harus bersikap terhadap kiai dan keluarga ndalem (pengasuh) dan para asatidz (ustaz). Sudah diatur pula etika membawa kitab serta etika pergaulan sesama santri. Khusus momen Ramadan, Langitan secara khusus mengkaji sejumlah kitab klasik untuk ribuan santri yang datang mengaji. Baik yang ngaji pasanan maupun bagi santri mukim (tetap).
Kitab yang dikaji yakni, Bidayatul Hidayah, Fathul Qorib, Aqidatul Awam, Safi natun Najah, Alfi yah Ibnu Malik, dan Sulamut Taufi q. Tidak diketahui secara persis sejak kapan ngaji pasanan itu mulai diberlakukan di Langitan. “Kami tidak memiliki data pastinya, namun yang pasti sudah sangat lama sehingga menjadi tradisi di sini,” ungkap Ustaz Adi Ahludzikro.
Berharap berkah
Pada 2017, jumah santri pasanan tercatat 800 orang dan tahun ini pengurus telah menerima sebanyak 525 santri. Jumlah itu dimungkinkan terus meningkat karena baru awal Ramadan. Umumnya, para orangtua atau wali santri memilih memondokkan ngaji pasanan bagi putra-putrinya pada pesantren tradisional yang masih mengkaji kitab-kitab klasik seperti di Langitan.
Salah satu alasannya ialah mengharap berkah. “Anak saya sengaja saya ikutkan pesantren kilat di sini. Agar mendapat berkah ilmu dari para pendiri Ponpes Langitan,” terang Saerozi, 41, wali santri asal Kecamatan Duduksampeyan, Kabupaten Gresik. Saat ini, putra pertamanya itu sedang menunggu kelulusan dari Madrasah Tsanawiyah (MTS) di Ponpes Suci, Kecamatan Manyar, Gresik, asuhan KH Masbuhin Faqih.
“Pengasuhnyajuga merupakan santri ulama karismatik, almarhum KH Abdullah Faqih, salah satu pengasuh Ponpes Langitan. Semoga dia dapat berkah Mbah Faqih dan ilmunya bermanfaat,” tambahnya. Hal senada diutarakan oleh salah seorang pengasuh Ponpes Langitan KH Macshoem Faqih.
“Bagi wali santri, sejak dulu ngaji pasanan ini untuk ngalap berkah para masyaikh agar mendapatkan ilmu yang berkah.” Ia menjelaskan, istilah ngaji pasanan lazim digunakan kalangan pesantren di Jawa Timur dan Jawa Tengah, sedangkan di Jawa Barat, biasanya disebut ngaji pasaran. Sebagian mengenalnya dengan istilah ‘santri kalong’.
Baik ngaji pasanan maupun ngaji pasaran merujuk pada kegiatan pengkajian kitab-kitab kuning di pesantren yang diselenggarakan pada Ramadan. Metode pembelajarannya tidak berada di kelas. Bukan hafalan, sorogan atau klasikal, melainkan menggunakan metode bandongan, saat seorang kiai atau ustaz membaca dan menjabarkan isi dan kandungan kitab kuning.
Sementara sang santri, mendengarkan dan membeberkan makna. Tinggginya keinginan para santri yang ngaji pasanan di Langitan ini, tidak lepas dari prestasi pesantren ini selama 166 tahun. Jumlah santri yang menetap sekitar 3.000 santri putra dan sekitar 2.000 santri putri dengan memiliki ustaz serta ustazah sekitar 100 orang.
Dalam sejarahnya, Pesantren Langitan juga telah berhasil mencetak ulama-ulama karismatik pelopor dan pejuang NKRI seperti, KH Muhammad Kholil (guru ulamaulama di Jawa) Bangkalan, Madura; KH Hasyim Asy’ari (Pendiri NU); KH Wahab Hasbullah--Jombang; dan KH Syamsul Arifi n (ayahanda KH As’ad Syamsul Arifi n- -Situbondo, tokoh pendiri NU). (M-4)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved