Headline
Pansus belum pastikan potensi pemakzulan bupati.
PUBLIK menuntut solusi dan tak mudah pula dipuaskan, lalu bagaimana Ombudsman menyelesaikan aduan-aduan yang diterimanya dari masyarakat, tantangan yang dihadapi serta solusi yang diberikan?
Berikut petikan wawancara Media Indonesia dengan salah satu anggota Ombudsman, Adrianus Meliala yang juga kesohor sebagai krimonolog beberapa waktu lalu.
Dalam refleksi 2017, bagimana kinerja Ombudsman serta kesadaran publik dalam mengkritisi kebijakan pemerintah?
Sepanjang 2017 kami menerima laporan 9.000-an kasus, sama dengan 2016, namun meningkat dibandingkan 2015 yang hanya 6.000-an. Mengapa selisih 3.000-an? Tampaknya terkait kepercayaan masyarakat atas keberadaan kami.
Dari 9.000-an kasus pada 2016, kami hanya mampu menyelesaikan sekitar 55%, namun per 2017, bisa selesai 90%. Artinya, tingkat efektivitas Ombudsman semakin baik.
Memang, penyelesaian itu tidak hanya diselesaikan kami, ada juga yang selesai karena masyarakat sendiri. Contohnya, saat melapor ternyata mereka tidak melaporkan semuanya dan apa adanya, misalnya karena tidak sabar, akhirnya menempuh jalur hukum dulu atau saat kami mediasi, ternyata sudah diselesaikan sendiri. Jadi penyelesaiannya itu karena berbagai faktor.
Yang menarik, tahun ini kami mencatat sekitar 6% kasus yang dibawa penasihat hukum karena mereka menganggap Ombudsman cepat, tanpa biaya, pasti, dan tidak memihak. Itulah yang dianggap kelebihan Ombudsman. Itu menunjukkan Ombudsman semakin bisa menjadi opsi bagi yang memiliki masalah.
Bagaimana dengan sebaran kasusnya?
Pertama umumnya terkait pelayanan pemda kepada masyarakat, yang kedua polisi, dan umumnya masalah soal penyidikan yang berlarut, ketidakpastian kasus terselesaikan. Ketiga, masalah BPN atau pertanahan, keempat pendidikan.
Soal pendidikan, menarik, karena biasanya soal penerimaan murid baru, ujian, pungutan sekolah. Sebagian besar diselesaikan dengan mediasi, kalau mediasi sudah tidak bisa, baru kami majukan ke tahap penyelesaian ketiga yaitu resolusi. Itu ada 4 kemungkinan, mediasi, konsiliasi, ajudikasi, dan rekomendasi.
Namun, jumlah yang sampai ke level rekomendasi sedikit sekali, itu mengindikasikan banyak sekali masalah selesai di tingkat omong-omong.
Bagaimana jika suatu kasus sudah sampai ke tingkat rekomendasi? apa tanggapan pihak yang diberi rekomendasi itu?
Selama ini kami baru keluarkan 55 rekomendasi dan ada 22 yang belum mendapatkan respons khusus. Kalau tidak ada respons, akan kami lakukan hal lain sesuai UU, yaitu publikasi di koran. Kedua, kontak ke Komisi ASN untuk mempersulit naiknya jabatan pejabat yang tidak mau menyelesaikan kasus itu.
Ombudsman banyak menyoroti malaadministrasi, mengapa itu terus terjadi? Apa tidak ada pembelajaran?
Memang sesuai UU, entry point kami adalah malaadministrasi, konsep besar yang mengacu pada perilaku tidak memberikan pelayanan, pelayanan tidak sesuai prosedur, pelayanan tidak patut, membeda-bedakan, meminta uang atau imbalan, bernuansa kolusi.
Jadi yang boleh dilaporkan pada kami ialah yang masih pada tahapan potensi, bukan soal indikasi, dan mala-. Tugas kami membuktikan Anda melakukan malaadministrasi, kami bersifat nonhukum dan mengingatkan.
Contoh rekomendasi Ombudsman yang berdampak pada berubahnya kebijakan?
Tentu ada, contohnya soal rekomendasi untuk Kampung Dadap di Tangerang. Pemdanya menjanjikan membangun gedung bertingkat dengan menggusur. Masalahnya, ternyata rumah susunnya belum ada, tapi masyarakatnya sudah digusur. Itu aneh, membuat masyarakat menderita. Jadi kami memberikan rekomendasi menghentikan pembangunan tersebut dan diikuti.
Sudah adakah efek pembelajaran dari rekomendasi Ombudsman, atau banyak laporan yang diterima adalah kasus sama dan berulang?
Ada 2 kemungkinan, pertama, soal masalah birokrasi yang sudah nyaman sehingga walaupun ditegur berkali-kali, apalagi dengan cara Ombudsman yang santun, bahkan lembaga lainnya yang kasar, ternyata tidak berubah.
Memang yang namanya budaya sulit diubah dan perlu waktu.
Kemungkinan kedua, leadership, misalnya sebuah dinas dikepalai orang yang bagus, namun ia pensiun dan digantikan orang yang tidak sebagus pendahulunya.
Dalam merespons laporan yang berulang, kami juga memiliki tupoksi yang disebut pencegahan. Cara kerjanya, setelah menemukan laporan yang berulang, mengadakan kajian dengan penelusuran, bisa dengan cara akademik dan nonakademik, misalnya sidak.
Sesungguhnya di Indonesia, semua birokrasi yang memberikan pelayanan publik itu, menyelenggarakan 13.000 layanan mulai dari KTP, SIM, paspor, SKCK. Itulah yang paling sering dilaporkan, ada 300 objek yang sering dilaporkan.
Lalu bagaimana kita menjangkau 12.700 layanan lainnya yang tidak pernah dilaporkan? Kami tidak menunggu laporan, tapi proaktif dengan membuat kajian, sidak, menginteli, agar kemudian mendapatkan kejelasannya dan bisa memberikan saran.
Khusus di Jakarta sendiri, beberapa kebijakan baru menjadi polemik, seperti PKL berjualan di trotoar sampai pengoperasian becak, bagaimana Anda melihatnya?
Pertama, kami bukan musuh pemda. Jadi yang kami anti ialah malaadministrasi, kebijakan terburu-buru, tidak ada kebijakan atau yang hanya menguntungkan sekelompok orang, kebijakan yang tidak ada turunannya, serta bernuansa kolutif. Itu semua yang kemudian mengapa kami soroti.
Misalnya, soal Tanah Abang, sebelumnya bukan soal Jalan Jati Baru yang ditutup, tapi lebih kepada mengapa Satpol PP tidak bekerja saat ada pelanggaran perda. PKL banyak sekali, trotoar sudah beralih fungsi menjadi tempat jualan, di depan mata mereka sendiri. Mereka tidak bekerja, itu potensi mala-, dari segi pembiaran, melanggar konstitusi maupun terima uang. Kami adakan kajian dan terbukti. Ke depan, kami akan membuat studi tentang Tanah Abang, mengejar bukan pada pemdanya, tapi lebih kepada kebijakan berpontesi mala- tersebut.
Adakah keinginan Ombudsman memberikan sangksi hukum, tidak hanya sekadar memberikan masukan?
Memang benar banyak orang yang mengatakan kami tidak bergigi karena tidak punya kewenangan upaya paksa. Masalahnya, kalau kami punya upaya paksa, apa bedanya kami dengan lembaga hukum lainnya? Mesti ada yang berbeda, itu sesuai dengan harapan Presiden GusDur agar lembaga ini bertahan hanya pada fungsi mengingatkan dan mediasi. Kalau dibandingkan dengan Ombudsman lain di negara lain, kami sudah bekerja lebih jauh daripada mereka.
Contohnya, putusan rekomendasi yang bersifat mengikat dan final. Kedua, adalah Ombudsman berhak melakukan sidak dan tidak boleh dicegah dalam bertugas. Ketiga, kami imun terutama 9 anggotanya terhadap pidana saat kami menjalankan tugas Ombudsman.
Menurut saya ini sudah berlebihan dibandingkan Ombudsman lainnya, sekali lagi Ombudsman itu mengandalkan pada integritasnya, kepercayaan publik, nilai-nilai baik yang kami dorong. Sehingga, orang yang dipanggil Ombudsman itu malu dan akhirnya berubah.
Seperti yang kita ketahui, yang namanya malu itu susah, kalau tidak ditegur, tidak berubah. Kita memang berada pada masyarakat yang sudah sakit. Namun, dari 9.000 kasus maupun berbagai testimoni, kelihatannya model-model Ombudsman diperlukan. Karena, murah, mudah, cepat, dan memang kemampuan mediasi itu luar biasa. Mediatornya, merupakan wakil negara, maka kami netral.
Apakah Ombudsman juga sering diajak pemerintah maupun pihak terkait merumuskan kebijakan?
Sering sekali diminta untuk memberikan rujukan, berkonsultasi, maupun memberikan pendampingan. Cuma tentu saja kami harus menjaga jarak, karena bagaimana pun mereka ialah pihak yang akan kami awasi. Jadi selain memberikan pendampingan, mereka juga kami awasi guna memberikan keajegan dalam pelayanan publik.
Adakah kiat-kiat yang dilakukan Ombudsman dalam mengawasi berbagai kebijakan di tahun politik ini?
Tidak ada persiapan khusus, karena terkait pemilu sudah ada Bawaslu. Meskipun begitu, kami juga membuat sebuah tim khusus informal untuk berjaga-jaga, kalau-kalau ada aduan, apakah kami limpahkan ke Bawaslu atau kami sendiri, khususnya ketika yang diadukan ialah Bawaslu. Jadi kalau ada orang yang kurang puas terhadap Bawaslu, boleh mengadu dan akan kami tangani. Karena, kami juga boleh memanggil suatu lembaga yang dikeluhkan publik.
Kembali ke soal jumlah laporan, apakah jadi pertanda layanan publik memburuk atau semata karena semakin meleknya masyarakat atas Ombudsman?
Yang jelas, saya kira bukan karena tambah buruk. Dari 9.000 laporan, kami mendapatkan kesan masyarakat semakin cenderung mengadukan hal-hal non-uang. Umumnya, penundaan laporan yang berlarut, tidak profesional, maupun layanan yang salah. Yang bersifat uang, seperti pungli, ada di urutan 7 dan ini adalah kemajuan, karena pada 2016, pungli berada diurutan ke-3.
Jadi dengan kata lain, sekarang orang mengadu bukan karena dimintai uang, tapi karena masalah lain-lain yang zaman dulu tidak bisa dilaporkan. Kami pun membatasi laporan maksimal berusia 3 tahun.
Anda adalah ahli di bidang kriminologi. Bagaimana mengaitkan keahlian tersebut dengan posisi Anda saat ini?
Dulu saya adalah komisioner Kompolnas, yang diurusi kepolisian saja. Jadi walaupun namanya pengawas, lebih memberi masukan saja. Kalau di Ombudsman, juga sebagai pengawas, namun lebih kasual, ramah, dan bersahabat.
Tantangan yang dihadapi Ombudsman?
Pertama, masalah sumber daya. 2017, target kami penyelesaian 90%, sekarang targetnya sama, cuma dengan anggaran yang dikurangi 30%. Jadi targetnya dinaikkan, tapi anggarannya dikurangi.
Kemampuan lembaga kami pun amat terbatas, memang punya kantor cabang di seluruh provinsi, namun di daerah adalah sewa. Anggarannya, Rp200 juta per tahun dengan 10 asisten, 1 mobil dinas, dan satu lagi yang mengurusi keuangan, hanya 12 orang itu.
Tantangannya, bagaimana 10 orang per provinsi itu kami kover semuanya, sehingga kami butuh masyarakat membantu dengan mau melapor. Kedua, kami harus dekat dengan media untuk bisa menjangkau.
Dari berbagai pengalaman, pihak yang bersangkutan langsung gemetar jika ada pemberitaan, artinya itu menghemat energi kami.
Ada juga tantangan soal integritas, karena pekerjaan ini rawan. Banyak pihak-pihak yang mencoba baik-baik atau gratifikasi.
Beralih pada reputasi Anda sebagai seorang krimonolog, bagaimana tren kasus-kasus kriminal saat ini?
Terkait posisi saya sebagai Ombudsman, yang kiranya akan bermasalah adalah dunia maya atau siber. Saya kira kita belum mencapai titik puncak dari kejahatan terkait dengan siber. Masih banyak lagi modus-modus baru yang tidak bisa kita bayangkan.
Permasalahannya, kita belum tahu juga bagaimana wajah pelayanan publik pada era siber. Sekarang ini pelayanan umum masih bersifat konvensional, padahal ke depan sudah mulai online, semua memanfaatkan dunia maya.
Bagaimana nanti nasib pelayanan publik kalau wajah kejahatan juga mulai mengancam? Contoh, perekaman KTP-E yang sekarang sudah mencapai 40 juta orang, kalau data bocor lalu hilang, berubah, bahkan rusak, saya tidak tahu yang terjadi, padahal investasinya besar.
Hal-hal itu yang kita belum sampai, dan belum diketahui apa yang akan terjadi. Ombudsman ke depannya juga ditantang mengawasi pelayanan publik yang sudah bernuansa digital. Di sana juga ada kejahatan-kejahatan digital yang kita juga belum tahu itu apa. (M-1)
Biodata
Nama: Adrianus Eliasta Meliala
Tempat, tanggal lahir
Sungai Liat, 28 September 1966|
Pendidikan
S1: Kriminologi di Universitas Indonesia (1985-1990)
S2: Psikologi Sosial di Universitas Indonesia (1991-1994)
S2: Legal and Criminological, Manchester Metropolitan University, Inggris (1994-1995)
S3: Kriminologi di University of Queensland, Australia (1998-2004)
Karier
1. Anggota Ombudsman RI (2016-2021)
2. Ketua Dewan Guru Besar Universitas Indonesia (2014-2017)
3. Komisioner Kompolnas (2012-2016)
4. Kepala Departemen Kriminologi Universitas Indonesia (2009– 2012)|
5. Ketua Balai Pertimbangan Pemasyarakatan (2009)
6. Guru Besar Universitas Indonesia (2006)
7. Penasihat Ahli Bidang Kriminologi Kepala Polri (2000-2006)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved