Headline

Istana minta Polri jaga situasi kondusif.

Persahabatan Melintasi Ruang dan Waktu

Abdillah M Marzuqi
04/6/2017 08:12
Persahabatan Melintasi Ruang dan Waktu
(Pengunjung sedang menikmati salah satu karya pada pameran bertajuk Lima Sahabat Melintasi Zaman yang digelar di Galeri Hadiprana pada 13 Mei-3 Juni 2017. -- MI/Abdillah Marzuqi)

MASING-MASING dari mereka bukan orang lain. Kisah itu bermula 40 tahun lalu, saat berada di bawah satu atap perguruan. Mereka sama menimba ilmu di Sekolah Tinggi Seni Rupa ASRI Yogyakarta. Kedekatan itu mereka wujudkan dalam unjuk karya bertajuk Kelompok 5 Puteri pada 1979. Ketika itu mereka adalah remaja usia 20-an.

Puluhan tahun berlalu, mereka seolah ingin kembali mengenang romantisme di antara mereka. ­Ikatan persahabatan di antara mereka tidak luntur meski terpisah jarak, ruang, dan waktu. Kini mereka berlima hadir dalam pameran bertajuk Lima Sahabat Melintasi Zaman yang digelar di Galeri Hadiprana pada 13 Mei-3 Juni 2017. Pameran ini dikuratori Efix Mulyadi. Tak kurang 39 karya dipamerkan dalam helatan ini.

Dalam kuratorial, Efix Mulyadi memberi catatan bahwa kala itu mereka hadir dengan lima gaya berbeda, serta tema dan beragam. Hartina Ajir saat itu menampilkan lukisan dengan kecenderungan pada bentuk-bentuk geometris. Aishah binti Abdul Latif bermain dengan susunan blok-blok warna-warni.

Trinawangwulan menggambar pasar dan sabung ayam dengan tarikan garis yang kuat dan eks­presif, bahkan dengan pelototan cat langsung dari tube-nya. Dyan Anggraini hadir antara lain dengan lukisan dipadu dengan ranting dan daun, sedangkan Ria Andaryanti membuat sosok tokoh dunia secara karikatural dengan bagian kepala ditempel kertas koran.

“Pameran ini memang menjadi cara kami untuk bisa secara bersama-sama hadir kembali di kancah seni rupa,” tutur Dyan Anggraini.

Kebersamaan kelima sahabat lama ini secara fisik sulit diwujudkan terutama karena mereka tinggal dan berkarya di tempat yang berbeda. Dyan menetap di Yogyakarta, Ria dan Hartina di Jakarta, Aishah di Malaysia, sedangkan Trinawangwulan di Jerman. Untuk menyiapkan pameran ini pun mereka hanya berhubungan dari jauh dan dibantu jaringan pertemanan.

Reuni lima putri
Setelah melewati banyak pasang surut kehidupan yang sedikit banyak akan ikut mewarnai wawasan dan pandangan mereka, baik yang akan terungkap secara jelas maupun tersembunyi.

Kuratorial Efix Mulyadi dengan jelas memaparkan hal itu. Di masa remaja Trinawangwulan menggambar pemandangan, membuat lukisan potret atau menggambar model, terkadang juga surealis. Kini, Trinawangwulan banyak memakai susunan berkas garis-garis yang membentuk suluran, serabutan, maupun kelopak bunga. Itu tampak dalam karya berjudul Menggeliat (2014), Kecintaan (2013), Mushroom (2016), Melayang (2016), dan Pertemuan I (2017).

Dyan Anggraini ialah sosok yang berbeda. Ia banyak mewujudkan perenungannya dalam pewarnaan yang teduh, dengan memanfaatkan kepiawaian drawing dan bermain di dalam dunia perlambangan. Seperti lukisannya yang bertajuk T(angan)-T(angan) berisi dua sosok perempuan desa yang sudah berumur, keriput, dan tangan keduanya menyilang, memegang kuping.

Menurut Dyan, itulah sikap yang khas dari kalangan perempuan desa yang dikenalinya ketika merenung atau berangan-angan. Maka ia menggambarkan mereka dengan latar mainan burung yang dari lembaran kertas uang rupiah, melayang-layang di latar belakang bidang gambar.

Tangan-tangan bersilang itu seolah menandai kehidupan para wong cilik yang tidak punya sumber-sumber ekonomi dan kemajuan, dan berakhir hanya sebagai angan-angan. “Sebuah kritik keras terhadap ketidakadilan sosial ekonomi masyarakat, yang disampaikan dengan tenang, rileks, dan senyap,” terang Efix.

Lalu masih ada Hartina Ajir yang dahulu menampilkan lukisan dengan kecenderungan pada bentuk-bentuk geometris. Kini ia bekerja dengan perpotongan bidang-bidang warna. Misalnya karya berjudul Aku dan Anakku menampilkan citra tiga sosok tubuh di dalam bangun geometris berwarna yang berpotongan.

Aishah bermain dengan tumpukan dan pelapisan bidang-bidang horizontal tanpa bentuk yang terpola. Karyanya berjudul Natura I dan Natura II digarap dengan cara sama. Ia mengisi kanvas dengan bidang bentuk dan warna yang diorientasi secara horizontal. Paduan itu mampu menghasilkan harmoni pemandangan alam yang memukau. “Hartina dan Aishah tampaknya tidak banyak beranjak dan karya-karya terdahulu seperti diperlihatkan dari kliping media massa,” lanjut Efix.

Ria Andaryanti mungkin lebih berbeda. Dulu, ia membuat distorsi dan penggayaan pada sosok tokoh dunia menjadi karikatural dan memasangnya dengan kertas koran. Sekarang, karya-karyanya bermain dengan daya hias tinggi serta mengolah unsur kaligrafi.

Huruf-huruf kaligrafi itu ditempatkan di tengah rimbunan bunga kemerahan dan dedaunan, dan memberi kesan menyembul di atas permukaan. Di dalam lukisan lainnya huruf-huruf itu malah ditaruh di dalam lingkaran berwarna terang sehingga tampak mencolok. Karya lain mengambil bentuk piring yang dihias dengan mengoptimalkan motif-motif penari sufi. (M-2)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya