Headline
Revisi data angka kemiskinan nasional menunggu persetujuan Presiden.
Revisi data angka kemiskinan nasional menunggu persetujuan Presiden.
Keputusan FIFA dianggap lebih berpihak pada nilai komersial ketimbang kualitas kompetisi.
TERIK matahari yang masuk melalui sela-sela dek kapal selama kurang lebih 1 jam mengarungi laut yang menghubungkan Jakarta dengan Pulau Seribu rasanya tak sebanding dengan pemandangan yang menunggu di ujung bibir pantai di Pulau Pari, salah satu primadona pelancong.
Pantai Perawan, Dermaga Bukit Matahari, dan Pantai Pasir Kresek adalah harta karun favorit di sini. Namun, siapa sangka, derasnya arus wisatawan dan pesatnya geliat ekonomi di sini justru berbanding terbalik dengan kondisi kekayaan bawah lautnya.
"Saya prihatin, masyarakat hanya berfokus pada peningkatan sektor ekonomi, tetapi lupa akan pentingnya kehidupan bawah laut.
Komunitas Sahabat Pulau Pari ini hadir untuk mengembalikan semangat itu," ujar Sekar Mila, Koordinator Sahabat Pulau Pari, saat ditemui seusai memberikan materi kepada para relawan, Sabtu (29/4), dalam acara pelatihan dan peresmian Sahabat Pulau Pari di ruangan pertemuan Kantor Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Pelatihan berlangsung mulai 29 April hingga 1 Mei diikuti mahasiswa, masyarakat umum, juga warga pulau sebagai peserta. Begitu pula pemberi materi, juga terdiri dari berbagai kalangan.
Berbagai kalangan
Sahabat Pulau Pari, begitu komunitas ini diberi nama. Meski belum genap berusia satu bulan, komunitas yang didirikan pada 29 April 2017 ini punya misi seru, lo, mengedukasi masyarakat pulau tentang pentingnya ekosistem laut.
"Kami di sini pakai sistem sukarelawan jadi siapa saja bisa ikut," tambah Sekar kepada Muda. Benar saja, mulai mahasiswa, komunitas pecinta alam dan hewan, hingga pegawai bank senior pun berbagi ilmu. Uniknya, keberagaman itu justru memperkaya ilmu yang ada, terutama dalam pola penyampaian materi-materi hasil penelitian kepada masyarakat.
Salah satunya, Laurien Mardhatilla Islamy, 26. Ia relawan dari Pramuka Peduli Satwa. Latar belakangnya yang memang fokus pada keberagaman satwa dan perlindungan hewan melatari presentasinya yang berjudul Mamalia Laut. Laurien membawakannya dengan seru di depan anak-anak SD Satu Atap Pulau Pari pada Senin (1/5).
Seolah tak mau kalah, Feri, pegawai bank senior, pun melakukan banyak improvisasi saat menjelaskan materinya. Topik tentang dinamika laut yang mengupas gelombang dan arus yang mestinya sulit dipahami anak-anak, menjadi cerita yang menyenangkan dengan aneka permainan.
Mereka melatih dengan permainan berkode. Saat gelombang pasang, anak-anak mengangkat kedua tangan tinggi-tinggi. Sebaliknya, saat gelombang surut, kedua tangan diturunkan. Favoritnya, gelombang tsunami karena mereka diharuskan berputar layaknya tergulung ombak.
Para mahasiswa pun melakukan pendekatan berbeda, melalui percakapan yang sifatnya personal, sehingga anak-anak lebih asyik mendengarkan. Nurma Tsabita, 19, seorang mahasiswa Biologi Universitas Indonesia, mengaku terkesan dengan kegiatan komunitas ini.
Berkesinambungan
Kegiatan Sahabat Pulau Pari memang tidak akan pernah tuntas mengingat kehidupan bawah laut memang amat dinamis, juga materi edukasi, termasuk hasil penelitian, akan terus ada.
Firsta, 20, relawan perwakilan Fisheries Diving Club Institut Pertanian Bogor, mengungkapkan pentingnya aturan untuk mengtasi permasalahan kesibukan para relawan. "Misalnya Sahabat Pulau Pari sudah memiliki jadwal kegiatan rutin, kan enak, kami jadi bisa mengatur waktu dan mengetahui apa saja kegiatannya," ujar Firsta kepada Muda.
Asyiknya kegiatan itu ternyata membekas tak cuma di benak para relawan, tetapi juga para peserta. Saat para sukarelawan akan kembali ke Jakarta, segerombolan anak pun berlarian mengantarkan para sukarelawan, bahkan menunggu hingga kapal datang dan akhirnya membawa serta para sukarelawan.
"Aku enggak nyangka akan seperti ini, apalagi saat anak-anak mengantarkan pulang rasanya jadi ingin kembali lagi," ujar Nurma. (M-1)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved