Headline

Rakyat menengah bawah bakal kian terpinggirkan.

12/2/2017 06:00

Semua akan Reda seusai Pilkada

TAK perlu lebai, berpikirlah senantiasa positif pada negeri ini. Pemaknaan dan pesan itulah yang dibagikan Imam Besar Masjid Istiqlal, Nasaruddin Umar, tentang Indonesia kekinian.

Berikut petikan obrolan dengan laki-laki yang selalu terjaga di dini hari ini, pada Minggu (5/2) sore:

Bagaimana Anda melihat perbincangan tentang pilkada kian riuh yang menyeret isu agama, perlukah kita risau?
Apa yang terjadi sekarang ini sesungguhnya tidak ada yang patut dikhawatirkan berlebihan. Semua yang terjadi masih dalam batas wajar sebagai negara demokrasi dan bangsa yang cerdas. Kita harus bisa membedakan, problem, tantangan, dan pembengkakan kualitas.
Kalau problem, seolah-olah dunia mau kiamat, saya tidak berpikiran seperti itu hanya karena pilkada.

Justru ini sebuah tantangan karena di satu sisi terjadi semacam pembengkakan kualitas umat. Anak-anak semakin cerdas dan menjadi kritis, mereka terdorong ikut mengambil tanggung jawab keilmuan, mempertanyakan berbagai hal. Kita harus arahkan yang melenceng, agar tetap bisa menjadi santun.

Bagaimana dengan panasnya media sosial?
Kita ini berada pada masa transisi dan saya berharap kondisi ini berlangsung cepat. Namun seperti diketahui, masa transisi itu enggak ada yang tuntas. Namun, saya yakin ini hanya sementara. Setelah itu, mereka akan memahami berbeda pendapat itu biasa. Saat ini problemnya bukan menyatukan warga bangsa menjadi putih misalnya, tetapi membiasakan warga bangsa hidup dalam perbedaan. Seperti dalam salah satu ayat Alquran, "Untukmu agamamu, untukku agamaku." Berbeda jangan dianggap salah dan dimusuhi, mari bergandengan tangan membangun bangsa.

Apakah kondisi ini menjadi babak baru dalam pendewasaan bangsa ini, atau suasana akan mendingin seusai pilkada?
Iya. Ini masa transisi saja, ya pilkada, pileg, maupun pilpres. Saya sangat yakin generasi kedua nanti terbiasa dengan kompetisi dan perbedaan. Nanti lihat deh siapa pun yang terpilih semua akan kembali damai. Okelah tegang saat kampanye, tetapi saat ada yang terpilih mari mengakui, toh Jakarta punya bersama.

Dalam era plural seperti saat ini, kehendak kita enggak bisa dipaksakan. Bhinneka Tunggal Ika, mari berbeda-beda tetapi yang penting tetap dalam bingkai Indonesia

Pembelajaran soal toleransi yang bisa kita ambil?
Merawat toleransi butuh panduannya, agar tidak melenceng. Lalu mengapa ada egoisme spiritual? karena metode pembelajaran kita monoreligion sehingga menciptakan eksklusivisme.

Seandainya bisa diciptakan kurikulum multireligion, anak-anak dikenalkan pada perbedaan agama, tetapi yang ditekankan ialah nilai-nilai kebaikan yang juga dikandung pada agama lain.
Porsinya harus hati-hati agar tak membuat salah kaprah, jadi mudah pindah-pindah keyakinan nanti.

Agama lain itu sahabat, seperti Nabi Muhammad SAW selalu melindungi umat agama mana pun, tidak pernah mengusik agama dan rumah ibadahnya.

Bagaimana idealnya umat muslim semestinya bersikap dan bagaimana peran ulama?
Sebenarnya sekarang sudah semakin cerdas, apa kata pimpinan ormas Islam tidak serta merta kata umat Islam. Apa kata pimpinan partai tidak serta merta kata kader, pun apa kata rektor tak serta merta kata mahasiswa. Namun, banyak elite yang memanfaatkan rakyat untuk keinginan sesaat.

Ulama perlu dilibatkan dalam banyak forum, dilibatkan sejak hulu hingga hilir. Jangan seperti pemadam kebakaran, begitu ada akibat baru diajak terlibat.

Ajak ulama untuk merencanakan pembangunan yang juga berwawasan lingkungan. Ulama juga harus bisa lebih memahami negara ini bukan negara Islam, tetapi negara kebangsaan pancasila. Jangan dipertentangkan, tetapi dipersatukan!

Kita bisa lihat contoh negara dengan label Islam, pada berantakan. Sementara kita tanpa label Islam, tapi masyarakat Islam sangat terhormat dan diberi kebebasan untuk menjalankan syariat.

Interaksi Islam, politik dan negara itu seperti apa?
Islam enggak bisa dipisahkan dari politik dan negara, tetapi politik yang bermoral. Maksudnya seperti ini, Islam itu memiliki ajaran dasar yang memang diterapkan dalam menjalankan negara maupun politik. Misalnya, Islam menganjurkan musyawarah dalam memilih pemimpin, tetapi untuk teknisnya, seperti apa silakan dirundingkan. Namun, bukan berarti Islam selalu harus mencampuri urusan politik.

Bagaimana dengan pernyataan Bapak soal Ahok tak menista agama?
Enggak persis seperti itu, saya juga sedikit menyesali kok ucapan saya didramatisasi. Saya enggak mau mencampuri, itu bukan wilayahnya imam besar. Saya harus bersikap netral, tidak membela Ahok, tidak juga anti-Ahok. Ketika saat pemilihan, saya memiliki pilihan tersendiri, itu untuk pribadi saya. Tidak saya bagikan kepada jamaah.

Saya tetap pada prinsip meneladani Nabi Muhammad SAW, bahkan Allah SWT pun memuliakan anak cucu adam, apa pun agama, suku, ras, warna kulit, setiap warga negara berhak dimuliakan.

Kerap kali mendapat tudingan, sebagai bagian dari Islam Liberal, bagaimana Anda menyikapinya?
Saya tetap konsisten dengan pendirian, Nabi Muhammad sahabatnya bukan hanya umat islam. Saya banyak belajar baik di Amerika, Eropa, juga Arab Saudi dan negara Timur Tengah lainnya.
Yang pasti saya ini NU, terserah mau dianggap liberal atau lainnya. Saya merasa nyaman dengan tradisi NU yang menghargai semua orang tanpa melihat perbedaan.

Lalu bagaimana dengan relasi Islam dan radikalisme?
Gusdur pernah berkata, hati-hati suatu saat yang perlu dicermati pertumbuhan ekonomi tidak berbanding dengan populasi umat beragama. Jangan terlalu diskriminatif dan memperlakukan umat Islam tidak adil. Semakin menampakkan kebencian, berpotensi melahirkan kelompok radikal. Ini respons spontanitas, jalan buntu jangan dipatahkan, tetapi ajak diskusi untuk memecahkan masalah.
Pun dengan kesenjangan ekonomi yang terlalu jauh, mereka akan mencari cara menyelesaikan persoalan keadilan, tapi kalau terlalu panjang perjuangannya, akan merasa inilah jalan daruratnya. Karena itu, harus diupayakan keadilan ekonomi, pendidikan, dan politik harus diperhatikan.

Sebagai imam besar masjid yang dianggap sebagai simbol kebesaran Islam di Indonesia, apa ada program khusus yang akan Anda lakukan untuk mempersatukan umat?
Insya Allah tahun ini atau tahun depan kami akan menyelenggarakan Festival Musik Spiritual atau Festival Istiqlal bertaraf Internasional. Kami sudah mendapat lampu hijau dari pemerintah. Acaranya akan menampilkan gambaran umat Islam moderat di Indonesia. Kami ingin menjadikan Istiqlal dan Indonesia sebagai kiblat peradaban umat.

Ada pertunjukan lagu, tarian yang memperlihatkan cara bersyukur, film-film bernuansa Islam baik dari dalam maupun luar negeri. Produk-produk mikro, karya teknologi anak muslim juga kami beri ruang agar bisa dilihat banyak orang. Untuk umat agama lain, kami siapkan tenda, tentu dengan porsi untuk menampilkan apa yang bisa dipertunjukkan. Dengan demikian, Islam agama rahmatan lil alamin terwujud membawa kesejahteraan bagi sesama.

Terkait kondisi global, khususnya kebijakan Donald Trump terhadap muslim. Bagaimana anda melihatnya?
Jangan melihat Donald Trump di awal. Siapa tahu, di tengah-tengah nanti akan berubah. Sekarang dia sadar, umat Islam itu tidak bisa digertak karena memiliki pendukung banyak dan prinsip yang kukuh, terbukti dengan banyaknya demonstrasi di berbagai negara bahkan dari masyarakat nonmuslim perihal peraturan kontroversial Trump.
Jangan katakan Umat Islam semua teroris. Justru Islam itu antiteroris dan menjadi korban dari perbuatan kejam tersebut.

Nah, Indonesia harus mempelajari kelemahan Trump, dekati dan tunjukkan bahwa umat Islam itu tidak seperti yang dipikirkannya. Bukan tidak mungkin suatu hari nanti dia akan berujar, tidak membenci umat muslim, salah satu buktinya, bekerja sama dengan Indonesia.

Diplomasi luar negeri harus bermain, ketuk pintu hatinya, perlihatkan Islam itu melalui kondisi bangsa kita. (M-1)

Baca Juga

Video Lainnya