Headline
Rakyat menengah bawah bakal kian terpinggirkan.
PENELITIAN terbaru menunjukkan, sebuah reaktor kecil berukuran meja berhasil mendorong reaksi fusi deuterium sekitar 15 persen, menurut penelitian terbaru.
Rangkaian ini menggunakan pancaran partikel bermuatan deuterium yang diarahkan ke sebuah logam, lalu menambahkan langkah elektrokimia untuk memasukkan lebih banyak bahan bakar ke dalam target tersebut.
Hasilnya memang belum bisa menghasilkan listrik untuk rumah sebagian besar orang, dan tidak pula menghidupkan kembali klaim lama tentang fusi dingin. Namun, sistem ini memberikan peneliti cara yang dapat dicoba untuk mengatur laju reaksi fusi serta membandingkan berbagai ide dengan dasar yang sama.
Curtis P. Berlinguette dari University of British Columbia (UBC) memimpin tim penelitian ini dan mengarahkan pekerjaan dari konsep hingga publikasi. Laboratoriumnya membangun akselerator partikel kompak yang bisa muat di atas meja dan terhubung langsung dengan sel elektrokimia.
Reaktor ini menembakkan sinar deuteron ke palladium, logam yang mampu menyerap atom deuterium dengan konsentrasi tinggi. Saat target penuh dengan bahan bakar, sebagian deuteron yang masuk dan yang telah tertanam mengalami reaksi D-D (deuterium-deuterium) yang menghasilkan neutron, yang kemudian dihitung di luar ruang reaktor.
Setelah laju neutron dari pancaran mencapai kondisi stabil, tim menyalakan sel elektrokimia berisi air berat untuk meningkatkan kandungan deuterium di dalam logam.
Jumlah neutron meningkat lebih jauh dan stabil pada laju yang lebih tinggi, konsisten dengan peningkatan laju fusi dalam kondisi yang sama.
“Tujuannya adalah meningkatkan kepadatan bahan bakar dan probabilitas tumbukan antar-deuterium, sehingga menghasilkan lebih banyak fenomena fusi,” kata Berlinguette.
Pendekatan ini mengatur kepadatan bahan bakar target dengan tegangan rendah, sementara pancaran partikel memberikan energi tumbukan.
Ulasan Departemen Energi AS pada tahun 1989 dan 2004 menyimpulkan bahwa bukti yang disebut fusi dingin tidak mendukung klaim produksi energi nuklir dari elektrolisis meja.
Penilaian tersebut juga merekomendasikan agar proposal terkait logam terdeuterasi dievaluasi melalui tinjauan biasa dan bukan program khusus.
Reaktor baru ini tidak mengklaim menghasilkan fusi dari elektrolisis saja atau panas berlebih dari reaksi kimia. Energi pancarannya berada pada skala kilo-elektron volt, wilayah di mana reaksi nuklir yang sudah ada memang terjadi ketika partikel bertumbukan di dalam padatan.
“Walau kami belum mencapai keuntungan energi bersih, pendekatan ini meningkatkan laju fusi dengan cara yang bisa diulang dan dibangun lebih lanjut oleh peneliti lain,” ujar Berlinguette.
Fokusnya adalah pada pengukuran neutron yang dapat dikembangan, bukan pada anomali termal.
Kinerja fusi bergantung pada keseimbangan antara kepadatan, suhu, dan waktu penahanan — sebuah hubungan yang dikenal sebagai kriteria Lawson.
Dalam kisi logam, faktor kepadatan bisa sangat tinggi karena isotop hidrogen menempati ruang antar-atom dengan jarak mendekati skala atom.
Logam yang mengandung deuterium dapat menawarkan banyak pasangan tumbukan potensial dalam area kecil. Inilah parameter yang ditingkatkan dalam eksperimen ini, tanpa mengubah energi atau geometri pancaran.
Pada 1934, Mark Oliphant melaporkan reaksi D-D di laboratorium dengan cara mempercepat deuteron ke arah target. Fusi pancaran-target dalam padatan adalah jalur yang sudah dikenal menuju reaksi D-D, dan sistem meja saat ini menambahkan kontrol elektrokimia untuk menyesuaikan kepadatan bahan bakar target selama operasi.
Proyek fusi besar-besaran seperti ITER di Prancis dan National Ignition Facility (NIF) di Amerika Serikat berfokus pada pencapaian energi bersih dengan mesin kolosal dan anggaran besar.
Proyek-proyek itu mengejar penahanan magnetik atau inersial pada skala yang hanya bisa didanai pemerintah atau konsorsium besar.
Sebaliknya, reaktor “Thunderbird” ini hanya memakan biaya sebagian kecil dari sistem tersebut dan bisa dijalankan di laboratorium.
Meski tidak ditujukan untuk memberi daya ke jaringan listrik, sistem ini membuka pintu bagi tim riset kecil untuk berkontribusi dan menguji ide mereka, sebagai pelengkap proyek besar, bukan sebagai pesaing.
Para penulis memperkirakan bahwa hasil neutron dari reaktor ini setara dengan sekitar seperseribu juta watt, sementara instrumennya mengambil sekitar 15 watt.
Itu masih sangat jauh dari energi bersih, tetapi metrik semacam inilah yang memungkinkan tim mengulang desain dengan cara yang transparan.
Berbagai logam target, tekstur permukaan, dan geometri bisa lebih meningkatkan konsentrasi deuterium lokal atau mengubah cara deuteron melambat dan berhenti.
Material seperti niobium atau titanium adalah kandidat alami ketika tujuannya menyimpan lebih banyak bahan bakar dalam kisi stabil pada suhu ruang.
Selain energi, ada juga aspek material praktis. Hidrida yang kaya akan hidrogen diketahui menunjukkan suhu transisi superkonduktor yang sangat tinggi di bawah tekanan, dan metode elektrokimia bisa membentuk hidrida logam serupa dengan biaya energi jauh lebih rendah dibandingkan alat tekan raksasa.
Metode yang efisien dalam memasukkan hidrogen ke dalam logam dapat membantu menguji senyawa yang meyakinkan dalam skala besar.
Penelitian ini memakai pola spektrum neutron untuk membedakan sinyal asli reaksi nuklir dari gangguan radiasi, sehingga hasil lebih jelas dan mudah diverifikasi tanpa harus bergantung pada pengukuran panas.
“Kami berharap pekerjaan ini bisa membantu membawa ilmu fusi keluar dari laboratorium nasional besar dan masuk ke meja laboratorium,” kata Berlinguette. (earth/Z-2)
Penelitian terbaru berhasil mengonfirmasi perhitungan simulasi turbulensi plasma dalam fusi nuklir dengan tingkat akurasi yang belum pernah dicapai sebelumnya.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved