Headline
Penyelenggara negara tak takut lagi penegakan hukum. Kisruh royalti dinilai benturkan penyanyi dan pencipta lagu yang sebenarnya saling membutuhkan.
Penyelenggara negara tak takut lagi penegakan hukum. Kisruh royalti dinilai benturkan penyanyi dan pencipta lagu yang sebenarnya saling membutuhkan.
BELAKANGAN di media sosial beragam polling tentang Calon Presiden 2019-2014 antara Joko Widodo dan Prabowo Subianto meramaikan lini masa. Survei-survei itu dicurigai melibatkan akun-akun bot atau internet bot. Sudah rahasia umum, kehadiran akun-akun ini digunakan sesuai dengan misi pembuatnya.
Misalnya, polling Twitter yang dilakukan musisi kawakan Iwan Fals melalui akun Twitter-nya (@iwanfals). Polling yang dilemparnya tersebut memiliki hasil kemenangan pasangan Prabowo-Sandi dengan persentase 68% dan pasangan Jokowi-Ma'ruf mendapat 27%, sedangkan sisanya sebanyak 5% memilih golput. Polling yang dilakukan Iwan Fals tersebut diikuti 50.216 voter.
Selain Iwan Fals, sosok lainnya yang melakukan polling ialah Faizal Assegaf (@faizalassegaf) yang merupakan mantan alumni 212 yang belakangan sering mengeluarkan pernyataan-pernyataan yang pedas di Twitter. Hasil polling Faizal tersebut memiliki hasil yang terbalik dari Iwan Fals. Pada polling Faizal pasangan Jokowi-Ma'ruf justru menang dengan persentase 66%, sedangkan pasangan Prabowo-Sandi memperoleh persentase 32% dan 2% memilih golput. Polling yang dilakukan Faizal tersebut diikuti 128.038 voter.
Seperti yang disitat The Information dari hasil riset Ghost Data baru-baru ini menunjukkan 95 juta atau 9,5% pengguna Instagram di seluruh dunia ialah bot. Jumlah itu meningkat jika dibandingkan dengan 2015 yang menunjukkan 7,9% akun bot di Instagram. Seperti yang diketahui aplikasi media sosial milik Facebook tersebut tercatat memiliki sekitar 1 juta pengguna seluruh dunia.
Mereka menemukan akun-akun bot tersebut kerap mengunggah foto-foto hasil curian dari situs lain. Demi studi ini, para peneliti Ghost Data membeli 20 ribu akun bot. Akun yang dibeli kemudian dibandingkan dengan 1 juta akun lainnya.
Melihat itu, peneliti dari Universitas Washington Sam Woolley yang dikutip The Information, khawatir peningkatan itu dapat menyebarkan berita palsu yang memicu kekacauan. Sementara itu, pendiri Ghost Data Andrea Stroppa mengungkapkan pembuat akun bot belakangan makin pintar, meksi Instagram melakukan pembersihan besar-besaran. Menurutnya, gambar dan video lebih cepat viral jika dibandingkan dengan pesan yang menggunakan kata-kata sederhana.
Bersih-bersih
Kabar lain datang dari Twitter. Media sosial berlogo burung biru ini sebagaimana dilansir AFP berupaya membersihkan akun-akun bot di platform mereka. Mereka juga memberlakukan regulasi baru bagi pengguna, yakni mereka harus mencantumkan alamat e-mail dan nomor telepon bagi pengguna baru.
Aturan baru itu rencananya akan diberlakukan sebelum akhir 2018. Di samping itu Twitter akan mengerahkan kecerdasan buatan (artificial intelligence/AI) untuk mengecek aktivitas akun demi menyingkirkan konten spam dan akun-akun palsu. Menurut catatan perusahaan, pada Mei lalu Twitter menemukan lebih dari 9,9 juta akun yang diduga dikendalikan bot dan dipakai untuk menyebarkan konten spam.
Menurut Ketua Indonesia Computer Emergency Response Team (ID-CERT), Budi Rahardjo, secara teknis pembuatan akun bot sangat mudah, bahkan hanya memakan waktu 10 menit.
"Pembuatan akun bot gampang saja, tinggal membuat program dan programnya itu mau disuruh untuk apa. Apakah mengakses halaman tertentu dan yang paling besar effort-nya itu kalau program ini harus membuat akun tertentu, dengan membuat akun secara manual. Setelah memiliki id dan password lalu dijalankan oleh robot-robot ini, itu paling gampang dan dalam waktu 10 menit selesai," jelas Budi saat dihubungi Media Indonesia, Selasa (21/8).
Budi juga melihat penyebaran akun bot itu merata di berbagai media sosial, seperti Facebook, Twitter, atau Instagram. Pasalnya, si pembuat memiliki segmentasi target mereka.
"Misalnya, mereka menyasar kaum milenial, maka akun-akun bot yang dibuat di Instagram atau Line, kalau untuk kalangan yang lebih tua bisa di Whatsapp dan Facebook. Namanya juga robot jadi mau dijalankan di mana saja tinggal diberi perintah," imbuhnya.
Membedakan
Bila Anda masih bingung membedakan mana akun asli dan akun bot ada sejumlah hal yang bisa diperhatikan. Budi menjelaskan, dapat dilihat dari tanggal pembuatan akun, nama, dan foto profilnya tidak jelas, bahkan lebih dalam lagi dapat dicek pertemanannya.
"Misalnya, ada 1.000 akun yang dibuat 1 jam yang lalu, itu perlu dicurigai. Kedua adalah akun yang identitasnya, nama, dan fotonya tidak jelas, itu sudah pasti kita pertanyakan walaupun belum tentu bot juga, jadi kita anggap akun tersebut tidak punya kredibilitas. Kalau mau diteliti lebih detail lagi, kita bisa lihat jumlah temannya berapa, akun yang baru dibuat kemarin, misalnya, temannya cuma 3 itu sudah tidak benar," papar dosen di Institut Teknologi Bandung (ITB) itu.
Dilihat dari sejarah, lanjut Budi, akun bot awalnya di luar negeri digunakan untuk branding produk tertentu. Lebih spesifik untuk memantau pergerakan perusahaan kompetitor yang tugasnya hanya membaca bukan mem-posting.
"Kalau di luar negeri dulu pemanfaatannya untuk branding bukan untuk pemilu. Jadi, untuk branding antar-brand secara marketing dulunya seperti itu, tidak spesifik untuk pemilu. Kalau untuk pemilu itu karena siapa yang bisa bayar maka jalan saja. Dulu memang untuk marketing sekarang ternyata bisa disalahgunakan," paparnya.
Masyarakat pun bisa berperan membasmi akun bot. Seperti melaporkan akun yang dicurigai ke platform media sosial, seperti Facebook, Twitter, maupun Instagram. Meski sudah melapor, platform itu tidak langsung memblokir. Mereka akan menginvestigasi dan memastikan kebenaran dari akun itu.
Pemerintah, lanjut Budi, hanya bisa bersikap menunggu dan masyarakat maunya apa terkait dengan akun-akun bot itu. Baginya jika ada masyarakat yang melapor pasti ditindaklanjuti. Pemerintah tidak bisa langsung turun tangan dalam menghapus atau memblokir akun-akun bot karena akan mengesankan membungkam kebebasan berpendapat dan terkesan negatif.
"Kita idealnya bantu mencegah dengan melaporkan karena hal tersebut tidak benar, tapi kita juga bisa bantu dengan tidak menyebarkan info yang dibuat oleh akun-akun tersebut," imbuh Budi.
Sementara itu, pengamat sosial media Nukman Lutfie menjelaskan di Indonesia fenomena akun bot sudah terjadi sejak Pilpres 2014. "Ciri-ciri akunnya itu kalau di Twitter, intinya dia tidak bercakap-cakap dengan yang lain, kalau di-mention dia akan jawab dan berteman dengan jaringannya sendiri, tapi tidak pernah mention," jelas Nukman saat dihubungi Media Indonesia, Selasa (21/8).
Menurut Nukman, pemerintah tidak dapat melakukan apa-apa terhadap akun semacam itu jika tidak ada unsur hukum yang dilanggar. "Kalau tidak melanggar hukum ya, tidak apa-apa, pemerintah tidak perlu campur tangan dalam hal itu," pungkasnya.
(M-3)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved