Headline
Saat ini sudah memasuki fase persiapan kontrak awal penyelenggaraan haji 2026.
Saat ini sudah memasuki fase persiapan kontrak awal penyelenggaraan haji 2026.
ADA yang berbeda di Asian Games yang akan berlangsung di Jakarta-Palembang, Agustus mendatang. Salah satunya ialah cabang e-sport, meski baru ekshibisi, sudah menarik perhatian banyak orang. Meskipun mendapatkan medali, tidak masuk hitungan kontingen pemenang.
Olahraga di era digital ini sebenarnya mulai populer pada 2001. Pada tahun itu beragam pertandingan e-sport meningkat dan warnet atau game center mulai menjamur.
"Di tahun 2002, untuk pertama kalinya Indonesia itu kirim wakil (ke ajang e-sport internasional dan sejak saat itu Indonesia selalu) kirim wakil," jelas Ketua Umum Indonesia E-Sports Association (IESPA), Eddy Lim, saat dihubungi Media Indonesia, Selasa (17/7).
Sayangnya, kala itu belum ada pengakuan dari birokrasi. Asosiasi e-sport baru empat tahun belakangan hadir, yaitu IESPA yang berada pada naungan Federasi Olahraga Rekreasi Masyarakat Indonesia (FORMI) dan Kementerian Pemuda dan Olahraga (Kemenpora). IESPA pun tahun ini sudah bergabung dengan Komite Olimpiade Indonesia (KOI).
Layaknya atlet pada umumnya, atlet e-sport tetap melakukan latihan fisik. Latihan itu guna menjaga daya tahan tubuhnya, pasalnya pertandingan e-sport menguras kemampuan otak.
"Atlet e-sport itu bertanding dengan media gim dan targetnya menang, tapi kalau gamers itu mereka hanya bermain gim demi kesenangannya dan menang atau kalah pun tidak masalah," papar Eddy.
Setidaknya ada sekitar 40 juta gamers di Indonesia dengan jumlah orang yang memiliki keseriusan dalam gim mencapai 4-5 juta orang. Sayangnya, untuk atlet Eddy belum memiliki angka pasti. Namun, yang akan tanding di Asian Games 2018 berjumlah 17 orang.
"Kalau kita bicara profesional tim banyak, tapi belum ada data yang benar-benar resmi berapa (jumlah atlet e-sport)," imbuhnya.
Syarat
Saat ini ada 3 syarat untuk mengategorikan gim yang masuk e-sport. Pertama, gim tersebut harus mendukung kesetaraan kemampuan antarpemainnya. Kedua, gim tersebut harus populer dan dimainkan di banyak negara. Ketiga, gim berjenis gim strategi yang mengandalkan kemampuan otak dalam menyusun strategi. Meski begitu, Eddy mengatakan, ke depan akan ada syarat tambahan masuk kategori e-sport. Semua akan disesuaikan dengan perkembangan teknologi.
"Bisa saja unsur lain dapat masuk lebih banyak (sebagai persyaratan), misalnya, yang mengusung dengan teknologi virtual reality (VR) dan hal itu bisa saja kalau teknologi sudah semakin matang," tambah Eddy.
Setidaknya dalam Asian Games kali ini ada 6 gim yang dipertandingkan. Keenam gim tersebut ialah Arena of Valor, Pro Evolution Soccer, League of Legends, Clash Royale, Hearthstone, dan Starcraft II.
Stigma
Bagi Eddy, ada 2 tantangan perkembangan e-sport ke depan, yaitu infrastruktur dan stigma publik. Dalam hal infrastruktur, terutama jaringan internet yang stabil dan baik jangkauannya masih terbatas pada kota-kota besar saja sehingga talent-talent berpotensi yang terjaring masih berada pada kota-kota besar.
"Tantangan lainnya adalah stigma publik, di mana mereka belum dapat membedakan mana atlet e-sports dan mana gamers," kata Eddy.
Di kesempatan berbeda, Ketua Harian Asosiasi Game Indonesia (AGI), Jan Faris Majd, saat dihubungi Media Indonesia, Rabu (18/7) menyebut pihaknya sangat mengapresiasi tren perkembangan eSports yang positif.
"Melihat tren e-sports
Meski begitu, e-sports memiliki andil dalam mengenalkan gim-gim terutama gim mobile kepada masyarakat luas sehingga gim-gim digital mulai banyak dikenal dan memengaruhi mereka yang awalnya mencoba bermain menjadi lebih serius.
"Karena (e-sports) dirajai gim-gim luar, hal itu memacu semangat kami agar membuat gim yang lebih baik lagi, dan harapannya 5 tahun ke depan bisa membuat produk yang selevel," pungkas Jan.
(M-3)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved