Headline

Presiden Prabowo berupaya melindungi nasib pekerja.

Fokus

Laporan itu merupakan indikasi lemahnya budaya ilmiah unggul pada kalangan dosen di perguruan tinggi Indonesia.

Pak Ahok,Ada Mafia di RSUD Pasar Rebo!

23/10/2015 00:00
Pak Ahok,Ada Mafia di RSUD Pasar Rebo!
()
PADA Jumat (16/10) saya berobat ke Poli Penyakit Dalam di RSUD Pasar Rebo. Saya pasien BPJS, mengidap penyakit jantung, ginjal, lambung/mag. Sesuai prosedur, mendaftar lalu antre. Saat mengantre, saya sesak napas. Akhirnya diprioritaskan menemui dokter.

Dokter menyuruh saya rawat inap. Kondisi saya kian parah. Saya bawa surat rawat inap ke petugas jaga. Petugas meminta keluarga saya mencari kamar ke bagian informasi. Bagian informasi mengatakan kamar kelas 1, 2, dan 3 penuh semua. Karena kondisi makin buruk, saya putuskan ke IGD ditangani dokter Lyla.

Dokter IGD itu juga memastikan saya harus rawat inap karena hasil darah dan tensi saya tidak bagus. Saya kena demam berdarah, sesak napas, dan denyut jantung tidak teratur.

Sekali lagi keluarga saya ke bagian informasi, memastikan kamar, tetapi tetap saja menurut petugas semua kelas penuh. Dokter Lyla meminta saya bertahan di IGD sambil menunggu ada pasien yang pulang.

Di depan saya ada 2 pasien sudah sangat tua. Mereka mengaku sudah berada di IGD selama empat hari, tidak dapat kamar. Saya mulai curiga dan memerhatikan gelagat di IGD. Ada yang aneh. Sabtu (17/10), 3 pasien masuk IGD. Lalu, 10 menit kemudian, pasien itu sudah dapat kamar kelas 1.

Saya meminta keluarga memastikan kamar lagi. Bagian informasi tetap mengatakan semua kamar penuh. IGD lalu membuat surat rujukan agar saya pindah ke RS lain yang bersedia menerima pasien RSUD Pasar Rebo. Semua RS yang ditemui keluarga saya tidak menerima karena kamar penuh.

Minggu, 18/10 saya masih di IGD, dengan kondisi makin parah. Trombosit makin drop ke posisi 70 ribu. Kaki dan muka bengkak akibat injeksi infus sementara buang air kecil tidak maksimal. Di IGD penanganannya sambil lalu karena pihak IGD menganggap keputusan bertahan di IGD ialah keputusan pasien. IGD sudah 'mengusir' melalui imbauan halus 'cari rumah sakit lain'.

Karena curiga, saya memerhatikan orang-orang yang masuk IGD. Pasien yang datang belakangan cepat sekali dapat kamar rawat inap. Namun, untuk pasien yang keluarganya menolak tawaran IGD agar menambah uang karena menaikkan kelas tidak dapat kamar.

Seorang pasien di samping saya hanya 10 menit di IGD dan langsung dapat kamar kelas 1 di lantai 6. Hal itu atas arahan seorang kepala ruangan IGD yang mengaku bernama Didi Maulana. Saya menegur Didi Maulana dan mengatakan kepadanya saya sudah 3 hari tidak dapat kamar. Orang bernama Didi Maulana itu justru menganjurkan saya ke RS Adiaksa, yang katanya, masih anak usaha RSUD Pasar Rebo.

Senin, 19/10 saya masih di IGD, dan saya tak sanggup lagi bertahan melihat ketidakberesan tersebut. Saya minta pada Didi Maulana buat surat 'keluar secara paksa'. Saya menunggu 2 jam, tidak ada hasilnya.

Saya putuskan pergi tanpa secarik kertas dari IGD. Saya mencari RS di tengah kondisi fisik yang kian ambruk. Saya ke RS Polri Kramat Jati, Pusdikes Angkatan Darat, dan berakhir di RSUD Budhi Asih, Dewi Sartika, Jakarta. Kini saya masih dirawat di kamar kelas 3, RSUD Budhi Asih.

Julius
Jakarta



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Admin
Berita Lainnya