Headline
Presiden Prabowo berupaya melindungi nasib pekerja.
Laporan itu merupakan indikasi lemahnya budaya ilmiah unggul pada kalangan dosen di perguruan tinggi Indonesia.
MENYAKSIKAN semangat pendidikan saat ini sungguh mengusik kesadaran moral kita yang peduli akan pendidikan.
Kehidupan dan saling menghidupkan kesadaran moral serta optimisme kita akan pendidikan yang ideal, harus dicicil sedini mungkin.
Sejatinya tugas pendidikan adalah mengupayakan agar anak bisa mengenal, memahami, dan mengaktualisasikan potensi dirinya.
Di sisi lain, lembaga pendidikan berperan menyediakan fasilitas agar peserta didik dapat mengembangkan potensi dirinya secara penuh, baik bidang akademik maupun nonakademik.
Sejauh ini, hemat penulis, masih banyak sekolah yang berkutat dalam ranah kognitif saja.
Mengapa demikian? Salah satunya karena ranah kognitif yang paling mudah diukur.
Hal itu dianggap ilmiah hanya bila dapat diukur, dalihnya 'pendidikan ialah ranah ilmiah. Jadi, harus serbaterukur.'
Bila benar demikian, pendidikanlah yang menjauhkan peserta didiknya dari nilai-nilai luhur yang harusnya hadir dalam setiap proses pendidikan.
Tak mengherankan bila lembaga pendidikan hari ini marak dengan perilaku menyimpang, seperti tawuran, konsumsi obat-obatan terlarang, pergaulan bebas, dan lainnya.
Padahal, jauh sebelumnya, bapak pendidikan Ki Hadjar Dewantara pernah menyampaikan, mengusung, dan menawarkan pendekatan holistis ketimuran.
Ungkapan ing ngarso sung tulodo, ing madyo mangun karso, tut wuri handayani yang artinya di depan kita memberi contoh, di tengah membangun prakarsa dan bekerja sama, di belakang memberi daya (semangat) dan dorongan baik materi maupun non materi, demikianlah yang merupakan produk cara pandang ketimurannya.
Kalangan pendidikan mengapresiasi dan mengutip ucapannya, tapi diam-diam mereka lebih mengadopsi paham Cartesian, yakni segala sesuatunya harus serbaterukur.
Akibat paradigma yang seperti itu, pendidikan di Tanah Air pun kering dan jauh dari afektif (sikap, rasa, atau nilai-nilai luhur keindonesiaan).
Apalagi, dengan administrasi birokrasi yang telanjur bekerja dengan sistem ad hoc, ditambah penurunan kualitas sumber daya pendidikan yang mana sebagian besar dari mereka hanya mampu mengajar bukan mendidik.
Menekankan aspek kognitif saja terbukti tak membuat peserta didik pandai berpikir.
Sebaliknya, itu malah membuat mereka tak cakap hidup.
Para peserta didik perlu pendidikan yang dislogankan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, yakni pendidikan berupa "olah hati, olah pikir, dan olah raga (olah fisikal mental), serta olah rasa dan karsa (olah emosi-sosial)."
Semoga pendidikan ke depannya dapat menjawab tantangan yang kian hari kian kompleks.
Waktu terus berjalan, para pemangku pendidikan harus pun bergegas dengan misi perbaikan yang matang untuk mewujudkan pendidikan dengan semangat keindonesiaan serta kaya dengan nilai-nilai luhur demi generasi baru yang mampu mengembangkan kebudayaan menuju ke arah keluhuran hidup kemanusiaan.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved