Headline
Kemenu RI menaikkan status di KBRI Teheran menjadi siaga 1.
SUNGGUH luar biasa ketika ada informasi yang menyebutkan keberadaan sindikat penebar kebencian melalui media-media sosial. Ujaran kebencian, isu SARA, hingga menebar kabar hoax sudah menjadi bisnis menggiurkan.
Tertangkapnya Kelompok Saracen pada 5-7 Agustus 2017 di Pekanbaru dan Cianjur, memperlihatkan terjadi krisis ketersediaan informasi. Dari keterangan pentolan Saracen, Jasriadi, kelompok mereka menerima Rp 75 juta-Rp100 juta untuk setiap pesanan penyebaran berita hoax dan hatespeech sesuai keinginan dan tujuan kliennya. Yang mengerikan, para pemesan jasa mereka ternyata ada calon kepala daerah yang sedang ikut kontestasi pilkada. Apa jadinya nasib rakyat ketika pemimpinnya justru menjadi otak penebar kebencian.
Yang menarik, kata Saracen sejatinya digunakan sebagai panggilan untuk umat Muslim oleh kerajaan Bizantin, Yunani. Kita tidak tahu apa motivasi kelompok bisnis haram ini menggunakan kata Saracen sebagai nickname mereka. Fakta lain menyebutkan, bahwa Saracen berafiliasi dengan Tim Cyber Muslim yang kerap menebarkan kebencian mengatasnamakan Islam di media-media sosial.
Sebagai umat beragama, khususnya Muslim tentu kita merasa tersinggung jika mereka menggunakan Islam untuk tindakan yang sangat tercela tersebut. Islam merupakan rahmat bagi alam semesta, mengajarkan kedamaian dan kasih sayang. Jangan sampai tindakan semacam Kelompok Saracen menimbulkan implikasi buruk dari umat lain bagi Islam, dan menimbulkan islamophobia. Yang pasti, jika di kalangan masyarakat terjadi krisis ketersediaan informasi, siapa yang harus bertanggung jawab?
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved