Headline

AS ikut campur, Iran menyatakan siap tutup Selat Hormuz.

Fokus

Tren kebakaran di Jakarta menunjukkan dinamika yang cukup signifikan.

Jalan Terjal Pencari Keadilan di Negeriku

Hans Johan Kami yang mencari keadilan
05/8/2017 13:30
Jalan Terjal Pencari Keadilan di Negeriku
()

KASUS hukum yang menimpa kami berawal saat krisis global 1997. Kami Irwan Gani (IG) dan Hans Johan (HJ), sebagai pemegang saham bersepakat memperpanjang izin PT sesuai PP No 1/1995 tentang setoran saham minimal sebesar 25%.

Namun, ketika kami berhalangan hadir di notaris, kami bersepakat meminta tolong kepada karyawati kami Saudari TS, maka dibuatkanlah blanko surat kuasa oleh notaris.

Atas surat kuasa yang dikeluarkan pada 10 Desember 1997, terjadilah penyesuaian PT Masterindo dan PT Fiberindo pada akhir 1997, yang kemudian disahkan oleh Mahkamah Agung.

Namun, setelah delapan tahun kemudian, pada 2005 IG tiba-tiba tidak mengakui 2 lembar surat kuasa yang telah diberikan kepada TS tersebut dan menuduh kami berdua, dengan Pasal 263 KUHP, yaitu HJ dan TS, telah memalsukan tanda tangan IG. IG melaporkan kami ke polisi sehingga kami berdua menjadi terdakwa.

Atas laporan tersebut, HJ ditahan di LP Cipinang, sedangkan TS di LP Pondok Bambu selama 100 hari. Dalam persidangan, kami mampu memberikan semua bukti material, termasuk menghadirkan notaris yang memegang barang bukti surat kuasa yang asli dan tidak pernah disita dan kemudian membandingkan barang bukti fotokopi yang dipalsukan oleh IG (Pasal 317 KUHP)

Maka terungkaplah seluruh rangakaian rekayasa berupa dokumen palsu/laporan dan sumpah palsu IG dalam kesaksiannya pada 5 September dan 12 September 2009 (Pasal 242 KUHP). Kami diputus bebas murni oleh PN Jakarta Selatan pada 10 Oktober 2007. Pada kasasi, Mahkamah Agung menetapkan keputusan bebas murni tersebut.

Dengan adanya pengalaman kami masa lalu, HJ tidak serta merta langsung melaporkan balik, tapi menunggu sampai terjadi penggantian penyidik satu periode, yaitu saat pemerintahan baru, dengan harapan akan terjadi proses penyidikan yang objektif.

Kami melaporkan kembali IG ke Polres Metro Jakarta Selatan dan memulai penyidikan panggilan ke 1 No.S.Pgl/5966/X/2016/Rekrim Jak.Sel pada 17 Oktober 2017. Sayangnya, Polres Jakarta Selatan mengelurkan surat perintah penghentian penyidikan (SP3) dengan alasan tidak cukup bukti. Padahal, sejumlah barang bukti telah kami lampirkan, termasuk keputusan kasasi Mahkamah Agung yang menguatkan keputusan PN Jakarta Selatan. Bahwa, tuduhan IG kepada kami sarat rekayasa.

Atas keputusan SP3 itu, kami memasukkan permohonan praperadilan pada 2 Juni 2017 ke PN Jakarta Selatan dengan No.55/Prap.Pid/2017. Atas landasan hukum Pasal 77 (KUHP) yang menyebutkan sah atau tidaknya penghentian penyidikan dari termohon. Sayangnya, disidang bukan atas dasar Pasal 184 KUHP dan keputusan MK yang menyatakan bahwa cukup dua alat bukti untuk mengajukan praperadilan. Hasilnya, PN Jakarta Selatan menolak gugatan praperadilan tersebut dengan alasan tidak cukup bukti.

Kami merasa aneh dan menduga ada sesauatu yang janggal dalam proses tersebut. Sejumlah pertanyaan masih mengganjal.

Bilamana tepat atas dasar pasal apa saja, bilamana salah penerapan hukumnya, maka kami meminta ketua pengadilan Jakarta Selatan melakukan perbaikan dan hakim tersebut meninjau kembali saja atas kekeliruan agar meminta kami barang bukti apa saja yang diperlukan.

Bilamana tetap kami tidak bisa lagi karena peraturan perundang-undangan, kami harus menempuh jalur hukum apa lagi?

Ataukah kami harus melakukan laporan dengan dugaan pasal lain yang memperbolehkan? Siapa yang bisa kami percaya lagi di negeri ini?



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Vicky
Berita Lainnya