Headline

Buruknya komunikasi picu masalah yang sebetulnya bisa dihindari.

Fokus

Pemprov DKI Jakarta berupaya agar seni dan tradisi Betawi tetap tumbuh dan hidup.

Persekusi, Gaya Baru Bully?

Dinny M Jakarta
12/6/2017 03:30
Persekusi, Gaya Baru Bully?
()

KATA persekusi mendadak tenar setelah sejumlah kasus disorot media massa mainstream menyusul penetapan status tersangka pada pemimpin Front Pembela Islam (FPI) Rizieq Shihab.

Beberapa orang yang mengunggah komentar di media sosial bernada miring kepada sosok pemimpin FPI itu langsung diserang, baik secara fisik maupun mental.

Kasus yang pertama menyedot perhatian ialah kisah dokter di Rumah Sakit Umum Daerah Kota Solok, Fiera Lovita.

Sepintas, status yang diunggah lewat akun media sosial Facebook itu hanya sindiran halus bagi Rizieq Shihab yang dinilai tak gentleman.

Namun, komentar itu dinilai tak etis oleh simpatisan Rizieq Shihab hingga 'menekan' Fiera untuk meminta maaf di atas meterai.

Gara-gara kasus Fiera pula, Kapolri Jenderal Tito Karnavian sampai memecat AKB Susmelawati Rosya dari jabatan Kepala Polres Kota Solok dan digantikan AKB Dony Setiawan, yang sebelumnya menjabat Kanit II Subdit IV Direktorat Tipidnarkoba Bareskrim Polri.

Kasus berikutnya menimpa seorang remaja berusia 15 tahun berinisial PMA.

Pangkal masalahnya serupa, mengunggah status bernada negatif atas sikap Rizieq Shihab yang menolak memenuhi panggilan polisi.

Komentar tersebut mengundang perhatian simpatisan pemimpin FPI yang berujung tindakan penganiayaan.

Si anak dari ibu tunggal itu mengalami luka dan trauma atas tindakan 'main hakim sendiri' sekelompok lelaki dewasa itu.

Belakangan, dua lelaki yang mengintimidasi PMA ditangkap dan ditetapkan sebagai tersangka.

Seiring dengan terungkapnya sejumlah kasus ke media massa, persekusi pun naik daun.

Padahal, kata yang masih asing didengar di telinga itu sudah masuk dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia.

Arti persekusi adalah pemburuan sewenang-wenang terhadap seorang atau sejumlah warga yang kemudian disakiti, dipersusah, atau ditumpas.

Dengan makna tersebut, bisa disimpulkan persekusi tak ubahnya perisakan atau bully yang lebih familier di telinga orang awam.

Mengapa kasus tersebut sampai harus memperoleh istilah khusus? Sementara itu, beberapa kasus serupa tidak diperlakukan serupa.

Salah satu contoh ialah kasus pembubaran paksa ceramah yang digelar Felix Siauw oleh ormas tertentu, padahal sudah berizin.

Atau, kasus buka-bukaan aib keluarga artis tertentu yang difasilitasi akun anonim di media massa hingga orang yang diserang seolah ditutup akses ekonominya.

Yang memiliki penjelasan soal itu tentunya aparat penegak hukum. Namun, bagaimanapun, inti persoalan tersebut adalah ketidakdewasaan mengemukakan dan menyikapi perbedaan pendapat.

Kebebasan berpendapat yang disampaikan melalui media sosial sering kali disalahgunakan untuk menyerang orang lain tanpa tedeng aling-aling.

Bahkan, media sosial seakan sah untuk menjadi pengadilan bagi seseorang tidak disuka.

Di sisi lain, orang-orang yang diserang atau terusik juga cepat panas menanggapi pendapat yang berseberangan.

Tanpa konfirmasi ulang, mereka langsung membalas dengan cara yang lebih ganas. Utamanya jika orang yang diserang memiliki kapasitas untuk membalas.

Jika demikian, cara terbijak untuk menyikapi perisakan ialah menahan diri untuk mengunggah status ataupun komentar di medsos.

Selalu dipelajari kembali setiap kalimat yang dituliskan sebelum di-submit.

Di sisi lain, yang tak setuju komentar pedas hingga sinis juga harus menahan diri.

Polisi semestinya menyediakan saluran pengaduan yang memadai untuk menjembatani masalah itu.



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Vicky
Berita Lainnya