Headline

Putusan MK dapat memicu deadlock constitutional.

Fokus

Pasukan Putih menyasar pasien dengan ketergantungan berat

Mengulang Kesalahan yang Sama

Suryopratomo Dewan Redaksi Media Group
17/7/2021 05:10
Mengulang Kesalahan yang Sama
Suryopratomo Dewan Redaksi Media Group(MI.Seno)

BUKAN hanya sejarah yang berulang, kesalahan pun bisa terulang. Setidaknya itulah yang dilakukan kesebelasan Inggris dan pelatih Gareth Southgate. Kesuksesan yang sudah di depan mata pun akhirnya harus terbang melayang.

Di semifinal Piala Dunia 2018, Inggris nyaris membuat langkah besar untuk bisa lolos ke final. Dengan pemain-pemain mudanya, Southgate mampu membuat kejutan dan membawa timnya unggul di awal pertandingan atas Kroasia.

Stadion Luzhniki seakan bergetar ketika Kieran Trippier mampu memanfaatkan tendangan bebas di depan kotak penalti Kroasia untuk menjebol gawang Daniel Subasic. “Gloriiiooouusss

 Gloriiooouusss

England goal. It was perfect,” teriak komentator televisi ketika itu.

Bayang-bayang untuk bisa kembali tampil di final Piala Dunia pun langsung terbayang. Namun, gol di menit ke-5 itu justru menjadi petaka. The Three Lions tiba-tiba kehilangan irama permainannya. Mereka membiarkan para pemain Kroasia mengendalikan permainan, terutama di babak kedua, nyaris Inggris hanya mencoba bertahan. Tidak ada upaya untuk menyusun strategi guna memanfaatkan serangan balik yang mematikan. Padahal, Kroasia tidak mempunyai pilihan lain kecuali keluar menyerang untuk mengejar ketinggalan. Kalah satu gol atau lima gol sama saja karena tidak bisa lolos ke final.

Bermain bertahan sebenarnya menguras banyak tenaga. Semua harus berkonsentrasi penuh untuk mengejar pergerakan pemain lawan dan tidak membuat kesalahan sedikit pun. Sekali saja ada kesalahan kecil, maka malapetaka akan tiba. Ketika lawan mampu menyamakan kedudukan, kepercayaan diri tim bisa langsung runtuh. Apalagi jika tidak ada pemain yang mampu mengangkat moral rekan-rekannya.

Ketika 23 menit menjelang bubaran Ivan Perisic mampu menjebol gawang Jordan Pickford, Harry Kane dan kawan-kawan benar-benar tidak berdaya.

Mereka memang mampu memaksa Kroasia untuk memainkan 2 x 15 menit perpanjangan waktu. Namun, sekitar 10 menit menjelang pertandingan berakhir Inggris akhirnya menyerah ketika Mario Mandzukic mampu memanfaatkan kelengahan center-back John Stones untuk mencuri gol kemenangan.

And England now hurt, and Croatia for the first time ever, will play in World Cup final,” teriak komentator kemudian.

 

Lebih menyakitkan

Persis pada tanggal yang sama, 12 Juli waktu Indonesia, tiga tahun kemudian kesalahan yang sama dilakukan Inggris. Kali ini kesalahan itu terasa lebih menyakitkan karena terjadi di kandang sendiri, di Stadion Wembley, dan di pertandingan puncak yang seharusnya bisa menghapus rasa sakit selama 55 tahun tidak pernah juara.

Di pertandingan puncak, Inggris memang seharusnya bisa berpesta. Dengan materi pemain yang sudah tampil bersama sejak Piala Dunia 2018, seharusnya mereka lebih padu. Apalagi malam itu hadir langsung penerus takhta Kerajaan Inggris Raya, Pangeran William, Putri Kate Middleton, dan Pangeran George untuk memberikan dukungan.

Lagi-lagi gol di awal pertandingan justru membawa malapetaka. Inggris larut dalam kegembiraan ketika Luke Shaw memanfaatkan umpan silang Trippier dengan tendangan first time yang tidak bisa ditahan kiper Italia Gianluigi Donnarumma.

Setelah gol di menit ke-2 itu, Inggris tidak terus menekan dan mencetak gol kedua, tetapi membiarkan Italia mengambil kendali permainan. Bayangkan, 71% bola berada di kaki Giorgio Cheillini dan kawan-kawan. Sampai-sampai center-back Leonardo Bonucci bisa naik sampai ke kotak penalti Inggris.

Gol balasan Italia di menit ke-67 akhirnya datang dari kaki Bonucci. Center-back Gli Azzurri itu mampu memanfaatkan bola muntah di depan gawang Inggris, yang tidak mampu dihadang ujung tombak Kane, yang menjadi pemain terakhir di depan gawangnya sendiri.

Seperti ketika menghadapi Kroasia di semifinal Piala Dunia 2018, Southgate tidak mampu keluar dari tekanan setelah Italia membuyarkan keunggulan tim asuhannya. Ia mencoba memasukkan Bukayo Saka untuk menggantikan Trippier di menit ke-70. Namun, tetap tidak mampu membuat Inggris bermain lebih menyerang.

Demikian pula ketika Jordan Henderson masuk untuk menggantikan posisi Declan Rice. Inggris tidak mampu menemukan permainan yang agresif dan penuh kecepatan seperti ketika tampil menghadapi Ukraina dan Denmark.

Memang ada hukum besi dalam sepak bola yang menyebutkan never change a winning team. Southgate melanggar aturan baku itu. Ia menggubah pola 4-3-3 menjadi 3-4-3. Mason Mount yang biasa bermain sebagai pengatur permainan di lapangan tengah, ia tempatkan sebagai pemain sayap mendampingi Raheem Sterling. Akibatnya, serangan dari sayap tidak optimal.

Ketika Saka masuk, Southgate berharap serangan dari kedua sayap bisa lebih meningkat. Namun, Italia sudah telanjur percaya diri untuk mengendalikan permainan. Apalagi Sterling tidak bermain pada penampilan terbaiknya sehingga Kane tidak banyak memiliki kesempatan untuk mengancam gawang Donnarumma.

Saat adu tendangan penalti harus dilakukan, Inggris berada dalam tekanan. The Three Lions tidak pernah beruntung dalam drama adu tendangan penalti. Kiper Pickford sudah berupaya keras dengan menghadang dua tendangan penalti Andrea Belotti dan Jorginho. Namun, Italia mempunyai Donnarumma yang secara postur lebih meyakinkan serta antisipasi bola yang istimewa. Ia dua kali mengeblok tendangan Jodan Sancho dan Saka serta beruntung sebab tendangan Marcus Rashford yang sudah berhasil mengecohnya masih membentur tiang gawang dan keluar.

“Saya yang bertanggung jawab atas kegagalan ini, bukan pemain. Sayalah yang menentukan siapa yang menjadi penendang penalti,” ujar Southgate yang dengan jantan mengambil alih tanggung jawab.

 

Kekalahan ganda

Inggris kembali harus memperpanjang rasa sakit gagal menjadi juara dalam turnamen besar. Sebaliknya bagi Italia, itulah gelar kedua setelah terakhir memenangi Piala Eropa pada 1968. Tidak salah apabila istilah Football’s coming home pun berubah menjadi Football’s coming to Rome karena Gli Azzurri sudah menunggu 53 tahun untuk mengulangi kejayaan mereka.

Bagi Inggris, kegagalan kedua untuk berjaya di kandang sendiri semakin menyakitkan karena ulah para pendukung. Mereka tidak hanya mengamuk dengan merusak, tetapi juga menyerang petugas. Setidaknya 19 polisi cedera dalam insiden setelah pertandingan.

Langkah keras pun diambil dengan menahan 68 hooligans yang membuat keonaran pada Minggu malam itu. Bahkan 53 di antara mereka ditahan akibat ulah tercela di sekitar Stadion Wembley.

Kegagalan Inggris semakin lengkap dengan tindakan rasial yang dilakukan para pecinta sepak bola mereka. Tiga algojo Rashford, Saka, dan Sancho yang gagal menjalankan tugas kebetulan bukan berdarah asli Inggris. Nenek moyang Rashford berasal dari Pulau Saint Kitts, di Karibia. Saka berdarah Nigeria, sementara Sancho berdarah Trinidad dan Tobago.

Mural Rashford di Manchester dicoret-coret dengan sumpah serapah oleh pendukung Inggris yang kecewa. Pangeran William yang menjabat Presiden Football Association merasa terganggu dengan sikap rasial yang ditunjukkan warganya.

'Tim Inggris pantas disebut sebagai pahlawan, bukan justru dicela secara rasial di media sosial. Mereka yang mencela seharusnya malu dengan perilaku mereka', tulis Perdana Menteri Boris Johnson dalam twit-nya.

Terhadap kegagalan untuk mengendalikan para pendukung, FA terancam dijatuhi hukuman oleh Asosiasi Sepak Bola Eropa (UEFA). FA dinilai tidak mampu menjadi tuan rumah yang baik karena sempat seorang penonton berlari masuk ke lapangan. Ada pula sekitar 5.000 penonton yang menerobos masuk stadion tanpa tiket, membawa kembang api ke dalam stadion, dan mengganggu saat lagu kebangsaan Italia, Il Canto degli Italiani, dikumandangkan.

Kapten kesebelasan Kane menegaskan pendukung Inggris sejati tidak boleh merusak dan bersikap rasial. “Kalau Anda bersikap rasial, Anda bukanlah pendukung Inggris dan kami tidak pernah menginginkan Anda,” tegas Kane membela ketiga rekannya.



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Triwinarno
Berita Lainnya
Opini
Kolom Pakar
BenihBaik