Memaknai Keberkahan Ramadan

Syarief Oebaidillah
22/4/2022 04:00
Memaknai Keberkahan Ramadan
ZIKIR RAMADAN: Ratusan warga binaan mengikuti Zikir Ramadan di Rutan Kelas II B Serang, di Serang, Banten, kemarin.(ANTARA/ASEP FATHULRAHMAN)

RAMADAN merupakan bulan yang penuh dengan ragam kebaikan dan manfaat. Berbagai kebaikan atau manfaat tersimpulkan dalam satu kata 'berkah' yang dimaknai sebagai azziyadatu fil khair (bertambahnya kebaikan).

Sayangnya, sering kali keberkahan atau nilai tambah itu hanya dimaknai secara terbatas pada aspek ritual.

Karena itu, kepedulian mayoritas umat tertuju pada ragam ritual, dari puasa itu sendiri, tarawih, hingga ke zikir dan bacaan Al-Qur'an dengan tujuan mengumpulkan pahala.

Ustadz Shamsi Ali mengingatkan melalui sudut pandang ini, yang terjadi ialah hitung-hitungan. "Saya melakukan salat malam dengan ikhlas. Insya Allah dosa saya dihapuskan oleh Allah setahun lalu atau saya telah menyelesaikan bacaan Al-Qur'an saya sekian juz dengan jumlah huruf sekian. Pahala dari bacaan saya sudah sekian," ujar Shamsi Ali mengilustrasikan hitung-hitungan tersebut.

Imam Masjid New York Amerika Serikat itu menjelaskan bahwa tendensi hitung-hitungan seperti itu bisa keliru, bahkan berakibat pada terbangunnya sikap yang kurang etis kepada Allah SWT. "Benar ada kata 'isytara' (transaksi antara Allah dan hamba) sebagai penggambaran komitmen ketaatan seorang hamba pada Tuhannya. Namun, itu tidak dimaksudkan sebagai kalkulasi yang harus terjadi antara hamba dan Tuhannya," terangnya kepada Media Indonesia.

Keberkahan Ramadan hendaknya dipahami dengan makna yang lebih luas. Ramadan merupakan bulan berbagai ritual yang pahalanya dilipatgandakan.

Amalan-amalan wajib dilipatgandakan pahalanya. Sunah-sunah dinilai dengan penilaian amalan wajib. Umrah, misalnya, di bulan Ramadan dimaknai seolah amalan haji.

"Kalau saja kita paham, bulan Ramadan ini memang dahsyat. Kita kenal bahwa Allah itu melebihkan sebagian waktu dan/atau tempat tertentu di atas waktu dan tempat yang lain. Ada waktu atau tempat tertentu yang diberikan keutamaan lebih dari lainnya," imbuhnya.

Contoh tempat yang diutamakan, misalnya Masjidilharam dan Multazam. Demikian pula padang Arafah di Hari Arafah.

Untuk waktu yang diutamakan, ambillah sebagai contoh waktu sahur, yaitu 2/3 malam hingga menjelang masuk waktu fajar. Keutamaan sahur sesungguhnya bukan saja di saat itu orang-orang yang akan berpuasa menikmati makanan yang penuh keberkahan (sahur). Lebih dari itu, dalam waktu sahur, Allah turun ke langit dunia (terdekat) membuka kesempatan bagi hamba yang berdoa akan dikabulkan dan yang meminta akan ampun diampuni.

 

Salah kaprah

Manusia sering berpikir bahwa hidup dunianya panjang dan nyaman seolah-olah akan hidup abadi. Menjadikan dunia ini sebagai destinasi hidup.

Akibatnya, semua waktunya diorientasikan untuk memenuhi hajat dunianya. Sementara itu, kehidupan sesungguhnya (akhirat, dalam istilah Al-Qur’an lahiya al-hayawanu) mereka lalaikan.

Situasi tersebut digambarkan di surah Ar-Rum. “Mereka mengetahui lahiriah kehidupan dunia, tapi mengenai akhirat mereka lalaikan.”

Keadaan tersebut terjadi karena manusia lengket dan sangat dekat dengan dunia. Mereka terlalu melebihkan kehidupan dunianya.

Menurut Presiden Nusantara Foundation, di sinilah puasa melatih seseorang untuk melepaskan ikatan atau kungkungan duniawi. Dengan puasa, orang beriman belajar meletakkan dunianya pada porsi dan posisi yang sesuai. Ada ungkapan 'letakkan dunia ini di tanganmu, bukan di hatimu'. (H-1)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Triwinarno
Berita Lainnya
Renungan Ramadan
Cahaya Hati
Tafsir Al-Misbah