Headline
Pemerintah merevisi berbagai aturan untuk mempermudah investasi.
Hingga April 2024, total kewajiban pemerintah tercatat mencapai Rp10.269 triliun.
SEORANG perajin sedang sibuk mengaduk beras ketan yang sedang dikukus dalam air mendidih di atas kompor yang menyala. Peluh membasahi kening dan tubuhnya di tengah siang yang panas. Perajin yang lain sedang membentuk beras ketan yang telah ditiriskan dengan cetakan bermacam macam bentuk. Sementara itu, di halaman rumah produksi, hasil cetakan beras ketan untuk rengginang tampak dijemur di tengah terik matahari sehingga bisa diolah.
Menjelang Lebaran tahun ini, kelompok usaha mikro, kecil, menengah (UMKM) yang berada di Kelurahan, Kecamatan Purwaharja, Kabupaten Banjar, kebanjiran pesanan. Kelezatan rengginang dari daerah tersebut tak kalah pamor dari aneka kue kering menjamur sebagai suguhan hari raya.
Perajin dan juga sebagai Sekretaris Sentra Rengginang Anggrek, Wawat Herawati, 47, warga Purwaharja, mengatakan produk olahan yang selama ini dimiliki mempunyai ciri khas tersendiri jika dibandingkan dengan produk daerah lainnya di Jawa Barat. "Ukuran rengginang lebih besar atau bisa mengembang dari hasil biasanya. Kelompok UMKM di sini juga terbiasa menghasilkan produk handmade unggulan," ujar Wawat kepada Media Indonesia, kemarin.
Ia mengatakan, jelang Lebaran 1442 Hijriah ini kebutuhan bahan baku melimpah dan harganya sudah mengalami penurunan. Harga ketan putih Rp12 ribu per kilogram, sedangkan ketan hitam Rp13 ribu per kilogram. Beras ketan didapat paling banyak dikirim dari luar daerah, yakni Cilacap dan Sukabumi. Pasalnya, di wilayah Kota Banjar, Ciamis, Tasikmalaya, Pangandaran, dan Garut, jarang petani menanam beras ketan.
Wawat mengatakan, membuat rengginang terlihat mudah, tapi orang yang tidak terbiasa akan menemui kesulitan membuatnya. Ia mengatakan usaha pembuatan rengginang dirintis oleh orang tuanya pada 2000. Saat itu, produksi hanya mengandalkan kayu bakar karena kesulitan mendapat gas elpiji.
Menurut Wawat, pada 2016 Bank Indonesia memberikan bantuan berupa lima oven pengeringan plus 125 buah jemuran berupa barang yang diberikan untuk mendorong produksi rengginang. "Pada musim penghujan, penjemuran butuh waktu lama hingga 7-8 jam baru bisa digoreng. Padahal, kalau panas hanya sebentar saja. Dengan adanya oven pengering, meski hujan, rengginang yang dicetak bisa cepat kering," tuturnya.
"Kita punya 10 orang pekerja, sebelum pandemi bisa memproduksi 1 ton per bulan. Namun, setelah pandemi, hanya 4 sampai 5 kwintal," imbuhnya.
Siapa sangka, usaha rengginang produksinya telah menembus pasar luar negeri, yakni Paris. Selain itu, pesanan rengginang juga datang dari luar daerah, seperti Tangerang, Bekasi, Lampung, Sumatra, Bandung, dan Jakarta. Menurutnya, penjualan rengginang selama ini dilakukan secara online atau daring dan para pekerja sebelum mengerjakan harus melalui tahapan pelatihan. (Kristiadi/H-3)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved