Headline

. AS kembali memundurkan waktu pemberlakuan tarif resiprokal menjadi 1 Agustus.

Fokus

Penurunan permukaan tanah di Jakarta terus menjadi ancaman serius.

Bagaimana Menyikapi Musibah

Nasaruddin Umar Imam Besar Masjid Istiqlal Jakarta
26/4/2020 06:15
Bagaimana Menyikapi Musibah
Nasaruddin Umar Imam Besar Masjid Istiqlal Jakarta(Seno)

BIASANYA setiap ada ujian di situ ada kenaikan kelas. Covid-19 anggaplah sebagai ujian atau musibah yang salah satu hikmahnya untuk menaikkan kelas dan martabat spiritualitas kita.

Musibah atau penderitaan apa pun sesungguhnya bukan hanya untuk diratapi, tetapi sekaligus untuk menyadarkan kita. Jika kita merenung dan berkontemplasi sejenak, memang benar bahwa di balik setiap musibah dan penderitaan selalu ada rahasia Tuhan yang sulit ditebak.

Banyak contohnya dalam Alquran. Suatu saat Nabi Yusuf berdoa: “Rab al-sijn ahbbu ilaiyya” (Ya, Allah penjara aku lebih sukai) (QS Yusuf/12:33). Ini diungkapkan ketika ia dipaksa oleh raja melakukan sesuatu yang bertentangan dengan hati nuraninya. Ia memilih hidup menderita di ruang gelap dan sempitnya penjara ketimbang gemerlapnya istana yang ditawarkan kepadanya.

Ternyata bukan hanya Nabi Yusuf. Sejarah panjang perjuangan bangsa Indonesia memiliki daftar panjang nama-nama yang rela menderita
demi untuk meraih kemerdekaan untuk anak cucunya. Mungkin kita pun pernah mengalami dalam kadar tertentu. Ini membuktikan ternyata penderitaan tidak selamanya menyakitkan, tetapi kadang dirasa lebih asyik karena boleh jadi merasa sedang bersama dengan Tuhan.

Banyak orang yang bukan Nabi juga lebih memilih penderitaan secara fisik demi ketenangan batin mereka ketimbang bahagia secara fisik, tetapi menderita secara batin atau psikis.

Segala bentuk musibah, bala, kekecewaan, dan ketidaknyamanan bisa diubah menjadi sebuah kenyamanan jika suasana batin aktif di dalam
hati seseorang. Musibah dan penderitaan yang seharusnya menjadi sesuatu yang merepotkan, mengecewakan, menyakitkan, dan memalukan, tetapi ada orang yang berhasil menjadikannya sebagai suatu kenikmatan.

Penyakit yang mendera Nabi Ayub sekujur badannya dikerumuni belatung membuatnya ia dibuang di sebuah gua di pegunungan di luar perkampungan. Dia tiba-tiba mengatakan kepada para belatung di sekujur tubuhnya, kalian dulu makhluk yang paling aku benci, di mana-mana saya mencari tabib untuk memusnahkanmu, tetapi kalian tetap betah di tubuhku. Sekarang kalian bersenangsenanglah karena ternyata kalian ialah sahabat setiaku. Satu-satunya yang bisa menemaniku di ke gelapan gua ini hanya kalian. Ayub tidak lagi merasa sakit dari gigitan belatung-belatung itu karena sudah beradaptasi dengan penyakitnya.

Sesungguhnya penderitaan, rasa sakit, kecewa, malu, menderita, dan tertekan hanyalah masalah psikologis. Musibah bisa diajak berkompromi. Musibah bisa dijadikan batu loncatan untuk naik lebih tinggi dari tempat semula. Banyak contoh dalam kehidupan kita musibah dijadikan sebagai hikmah untuk lebih maju, kreatif, dan berhasil. Jangan memusuhi musibah karena pasti terasa lebih sakit.

Jangan memusuhi penyakit karena pasti penyakit itu lebih terasa mendera. Nikmati penderitaan itu niscaya kadar rasa sakitnya akan berkurang secara signifikan.

Demikian pendapat para ahli anastesia. Seorang dokter ahli anastesia di AS pernah meneliti dan berkesimpulan bahwa orang yang beriman tidak pernah merasakan rasa sakit secara maksimum. Hanya orang yang tidak atau kurang beriman merasakan rasa sakit itu secara maksimum.

Jika kita memperdalam penghayatan terhadap musibah sudah barang tentu kita pun akan bersikap arif terhadap musibah itu. Di balik setiap musibah ternyata ada hikmahnya. Bahkan mungkin bisa kita katakan bahwa, ”Musibah adalah ’surat cinta’ Tuhan kepada hamba-Nya”. Mungkin ’undangan’ Tuhan berupa kenikmatan tidak mampu menghadirkan kita ke hadirat-Nya lalu Allah mengundang kita dengan musibah itu.

Hamba yang sejati ialah hamba yang tidak pernah berburuk sangka kepada siapa pun, termasuk kepada Allah SWT, dengan kehadiran musibah. Hamba yang sejati juga tidak pernah sibuk mencari kambing hitam dengan datangnya sebuah musibah, tetapi mereka belajar dan mengambil hikmah di balik musibah itu.

Allah SWT melukiskan orang seperti ini dengan bahasa indah: “(yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan, “Innaa lillaahi wa innaa ilaihi raaji`uun” (kita berasal dari-Nya dan akan kembali kepada-Nya)”. (QS al-Baqarah/2:156).



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Kardashian
Berita Lainnya
Renungan Ramadan
Cahaya Hati
Tafsir Al-Misbah