BERPINDAH ke sesuatu yang baru tentu bertujuan mendapatkan hal yang lebih baik. Berhijrah seperti itu pula yang ditempuh Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta.
Pada November lalu, pengadilan khusus terdakwa kasus rasywah tersebut pindah dari gedung 'tumpangan' di Ombudsman ke gedung baru di Jalan Bungur Besar. Gedung yang berada di bawah naungan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat itu disebut-sebut gedung pengadilan terbaik di Indonesia, bahkan berkelas internasional.
Memasuki dua ruang sidang utama di lantai 1, suasana modern bak film Hollywood langsung terasa. Kursi-kursi kayu memanjang untuk pengunjung sidang berjumlah 28 buah tersusun rapi.
Kondisi itu kontras dengan di Gedung Ombudsman. Jangankan berharap ruang sidang sejuk, bangku panjang pun hanya ada empat. Para pendukung terdakwa yang menunggu sidang kerap bertumpuk di depan ruang sidang.
Harus diakui tampilan gedung baru menjanjikan. Namun, soal 'isi', tunggu dulu. Efektivitas penanganan perkara masih jadi persoalan.
Humas PN Jakpus Sutio Jumagi pernah sesumbar perpindahan gedung bertujuan menjawab kebutuhan sidang. Dengan hanya empat ruang sidang di gedung lama, tidak jarang terdakwa antre bersidang.
Kenyataannya, keterbatasan ruang sidang bukanlah penyebab utama. Di gedung baru, meski ruang sidang tersedia enam, terdakwa masih saja harus menunggu berjam-jam.
Kamis (17/12) lalu, terdakwa kasus suap hakim PTUN Medan OC Kaligis harus menunggu berjam-jam di ruang tunggu pengadilan tanpa kepastian pelaksanaan sidang. Begitu pula dengan mantan Ketua PTUN Medan Tripeni Irianto Putro dan komedian Mandra Naih.
Masalah kronis itu datang dari terbatasnya hakim tipikor, khususnya hakim ad hoc. Seiring dengan limpahan kasus korupsi dari KPK dan kejaksaan yang kian banyak, Komisi Yudisial (KY) berpendapat minimal tersedia 7 majelis hakim, artinya harus ada 35 hakim.
Di awal pengadilan tipikor pindah gedung, hanya delapan hakim ad hoc yang ada. Dengan terpilihnya salah satu hakim ad hoc Alexander Marwata sebagai pemimpin KPK, jumlah hakim ad hoc tersisa tujuh.
Jumlah pendaftar hakim ad hoc pun menurun (lihat grafik). Tidak disangkal, turunnya minat masyarakat, selain syarat yang ketat, disebabkan penghapusan tunjangan Rp5 juta per bulan bagi hakim ad hoc.
Setelah Mahkamah Konstitusi yang mempersilakan MA merekrut hakim tingkat pertama di peradilan umum, TUN, dan agama tanpa melibatkan KY, kelak selayaknya krisis hakim tidak terulang. Suasana sidang boleh saja bernuansa modern, tapi jika masih menggunakan gaya klasik, badan peradilan Indonesia susah naik kelas. (Erandhi Hutomo Saputra/P-1)