INI soal siapa bayar siapa, untuk mendukung yang mana, dan mendapat apa. Tak mengherankan jika itu memicu adanya dua nakhoda dalam satu kapal. Yang jelas keduanya berlayar tanpa mengikuti arah angin yang tak bisa dilawan: suara rakyat. Hasilnya ialah kekalahan.
Minimnya hasil pilkada bagi dua partai senior, Partai Golkar dan PPP, hanyalah secuil efek dari perpecahan lama. Perpecahan itu sendiri tak bisa dipisahkan dari kisah epik Pemilu Presiden 2014.
Di satu sisi, kader-kader yang secara hierarki di bawahnya juga banyak keinginan. Di sisi lain, pucuk pimpinan mengeluarkan khitah dengan memilih berada di luar pemerintah akibat janji setia pada pemilihan presiden lalu. Perlawanan pun muncul. Dua pihak di dua partai itu masing-masing mengadakan musyawarah nasional atau muktamar sebagai forum tertinggi partai.
UU No 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik jelas menyatakan penanganan konflik internal partai dilakukan mahkamah partai atau yang sejenis (Pasal 32 Ayat 2). Putusannya pun memiliki kekuatan hukum tetap dan mengikat bagi partai tersebut (Pasal 32 Ayat 5).
Sayangnya, perundangan yang sama memberikan celah munculnya kerumitan. Pasal 33 Ayat 1 dan juga Mahkamah Agung membuka pintu bagi pengaduan konflik internal partai ke pengadilan negeri (maksimal 30 hari) hingga tahap kasasi (maksimal 30 hari). Syaratnya ialah sudah ditempuhnya jalur mahkamah partai itu.
Tak berhenti di situ, celah tuntutan pun datang dari Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Surat keputusan (SK) Menteri Hukum dan HAM soal kepengurusan partai yang sah menjadi bahan gugatannya. Sialnya, proses hukum jenis ini seolah mendapat pembenaran akibat menteri terkait terburu-buru mengeluarkan SK meski proses pengadilan belum berkekuatan hukum tetap (minimal kasasi).
Semua usaha ditempuh. Berlarut-larutlah konflik dua parpol itu. Masyarakat lelah dengan konflik. Padahal, menyitir salah satu esensi Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (Pasal 2 Ayat 4), peradilan hendaknya dilakukan dengan sederhana, cepat, dan biaya ringan.
Persoalannya, pertama, partai politik masih gagap dengan eskistensi mahkamah partai. Partai belum punya desain yang jelas bagaimana mahkamah itu bekerja dan bagaimana menindaklanjuti putusannya. Untuk kasus PPP, mahkamah partai dinilai melampaui kewenangan sehingga putusannya dikesampingkan. Sementara itu, putusan Mahkamah Partai Golkar dianggap membingungkan dan multitafsir.
Ini diperparah pula dengan perubahan mendadak peraturan KPU demi mengakomodasi partai yang berkonflik untuk ikut pilkada serentak. Selain itu, syarat adanya surat rekomendasi dua pihak berlawanan juga membuka celah negosiasi untuk tak mencalonkan pasangan yang dikehendaki warganya atau bahkan urung mencalonkan.
Celah besar berlarutnya konflik di UU, inkonsistensi penyelenggara pemilu, diabaikannya suara akar rumput, dan kasus korupsi elite partai inilah yang berkontribusi besar pada lepasnya kantong-kantong suara tradisional.
Penulis politik Abad 19 James Fenimore Cooper pernah menyatakan partai menyebabkan lahirnya perundangan yang jahat, korup, dan tak menguntungkan, hanya demi mengalahkan pihak lain.
Tanpa berpraduga bersalah pada para penyusunnya, saatnyalah dilakukan amendemen UU Parpol. Perubahan mesti mengarah pada penguatan kewenangan mahakamah partai. Pertegas kembali mekanisme penyelesaian sengketa internal, susunan keanggotaan, serta mekanisme putusannya. Perketat pula jalur gugatan ke pengadilan umum ataupun ke PTUN. Final dan mengikat pun bukan hanya basa-basi.
Tujuannya ialah agar warga bisa mengutarakan suara mereka secara utuh lewat saluran partai, yang seburuk apa pun persepsi masyarakat terhadapnya masih dilegalkan UU sebagai kendaraan calon pemimpin, tanpa risau bocor akibat keretakan dari dalam. (P-4)