PUNCAK pelaksanaan pilkada serentak telah usai bersamaan dengan pelaksanaan pemungutan suara pada 9 Desember lalu. Namun demikian, masih ada hal-hal menarik yang bisa ditelusuri pascapesta demokrasi yang diikuti 264 daerah tersebut.
Yang menarik untuk diketahui ialah hasil pilkada di 264 daerah, terlebih bagi dua partai, yaitu Golkar dan PPP yang mengikuti pilkada kali ini dalam suasana konflik kepengurusan. Pertanyaan pun muncul. Sejauh mana konflik internal itu berdampak pada hasil pilkada?
Berdasarkan data yang ada di laman resmi KPU yang telah direkap Jaringan Pendidikan Pemilih Untuk Rakyat (JPPR), hasil yang diraih Golkar dan PPP tidak memuaskan. Kedua partai itu berada di urutan empat terbawah. PPP menjadi juru kunci yang hanya bisa menang di 26 daerah dan Golkar harus puas di posisi empat terbawah dengan hanya menang di 48 daerah. 'Partai Beringin' itu hanya unggul dari tiga partai lain, yaitu PPP, PKPI, dan PBB.
Komisioner KPU, Hadar Nafis Gumay, mengungkapkan partai berkonflik menjadi kerumitan tersendiri bagi KPU. Penerapan aturan yang membolehkan parpol berkonflik mengajukan calon asal mendapat restu dari dua kubu kepengurusan nasional dalam penerapannya kerap bermasalah.
"Memang di situ kerumitannya. Di satu sisi kami mengambil keputusan untuk mengakomodasi mereka, tapi penerapan aturannya ternyata sulit dijalankan mereka," tutur Hadar kepada Media Indoensia, pekan lalu.
Tidak sedikit calon yang berasal dari Golkar dan PPP yang ditolak KPU karena tidak mendapat persetujuan dari kedua kepengurusan. "Memang rumit. Belum lagi kemudian ada sengketa pencalonan yang ada di pengadilan. Dulu kita hanya antisipasi sengketa terkait SK penetapan calon, tapi kemudian ada yang menyengketakan SK pendaftaran calon dan SK pembatalan. Itu didominasi parpol berkonflik," ujar Hadar.
Anggota Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Nelson Simanjuntak mengakui parpol berkonflik cukup memembuat panwas di lapangan kerepotan. Cukup banyak calon yang mengadu ke panwas karena pendaftaran mereka ditolak KPU karena saat mendaftar tidak bisa menunjukkan persetujuan dari kedua kubu.
"Akhirnya kita keluarkan rekomendasi KPU bisa menerima pendaftaran asalkan rekomendasi kedua kubu bisa dibuktikan saat penyelesaian sengketa di tinglat panwas," jelas Nelson.
Persiapan minim Direktur Eksekutif Perludem Titi Anggraini menilai rendahnya hasil yang diraih Golkar dan PPP dalam pilkada 2015 disebabkan keterbatasan waktu dalam mengusung calon. Pasalnya, UU Pilkada tidak membenarkan partai berkonflik mengajukan calon.
"Meski KPU kemudian membolehkan Golkar dan PPP mengusung calon, aturan tersebut keluar sangat mepet dengan waktu kampanye dan pemilihan. Kedua partai itu tidak punya cukup waktu untuk melakukan konsolidasi internal demi kepentingan pencalonan," ucap Titi.
Ia menyebut perpecahan yang dialami Golkar dan PPP membuat mereka secara hukum dan teknis bermasalah dalam konsolidasi pencalonan pilkada. Di saat partai lain melakukan konsolidasi pemenangan, Golkar dan PPP terjebak pada konflik internal. "Jangankan melakukan penguatan dan penjangkauan basis, mereka sibuk dengan konflik internal mereka sendiri," cetusnya.
Oleh karena itu, kata dia, jika Golkar dan PPP ingin memperbaiki kinerja, konsolidasi internal merupakan keharusan. Partai yang terbelah tidak hanya merugikan institusi, tetapi juga masa depan kader-kader potensial dalam pencalonan di pemilu dan pilkada.
Dalam pandangan Koordinator Nasional Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR) Masykurudin Hafidz, Golkar dan PPP belum akan mampu mengembalikan perolehan suara mereka dalam Pilkada 2017 mendatang. Paling cepat kedua partai itu baru bisa mendulang suara pada Pemilu 2019.
Dia berharap semua parpol di Indonesia mengambil hikmah dari konflik yang melanda Golkar dan PPP. Selain itu, semua parpol harus berbasis pada kepentingan rakyat. Semua partai politik, termasuk Golkar dan PPP, perlu membalikkan pandangan masyarakat pemilih dengan cara mendekati masyarakat secara jujur dan mengakomodasi kepentingan secara nyata.
Kendaraan lain Ketua Umum Partai Golkar hasil Munas Ancol, Agung Laksono, mengakui konflik berkepanjangan yang mendera partainya membuat Golkar babak belur dalam pilkada kali ini. Ia menyebut kalau saja kubu Aburizal Bakrie konsisten dengan putusan Mahkamah Partai Golkar pada Maret 2015 yang memenangkan kubunya, tentu hasil yang dicapai dalam pilkada akan lain, bahkan bisa berjaya.
Efek domino dari konflik tersebut, ucap Agung, bahkan membuat Golkar terlambat dalam melakukan konsolidasi karena baru dinyatakan dapat mengukuti pilkada pada Juli 2015 setelah PKPU Nomor 9/2015 tentang Pencalonan direvisi. Keterlambatan itu pula yang membuat partai lain enggan melirik Golkar untuk berkoalisi.
"Golkar terlambat masuk sebagai peserta, baru ada kepastian belakangan sehingga banyak calon yang bagus dan potensial memilih kendaraan politik lain atau melalui jalur independen," jelas Agung.
Beberapa kader Golkar menggunakan kendaraan lain, seperti calon Bupati Kutai Kartanegara Rita Widyasari yang maju lewat jalur independen dan calon Gubernur Bengkulu Ridwan Mukti yang diusung PAN, Gerindra, Hanura, PKB, PKPI, dan NasDem. "Itu sementara pinjam kendaraan saja. Kenapa bisa begitu? Karena di pilkada itu yang dipilih figur bukan partai," kilahnya.
Akibat konflik, imbuhnya, kerja mesin partai menjadi kurang maksimal. Hal itu didasari pada kepemimpinan partai yang kurang kuat, terutama konsolidasi di daerah. Tidak maksimalnya mesin partai itu menjadikan suara Golkar di pilkada di Sulawesi Selatan sangat anjlok, padahal Sulsel dikenal sebagai lumbung Golkar.
Sementara itu, Sekretaris Jenderal PPP kubu Muktamar Surabaya, Aunur Rofiq, mengatakan perolehan suara di daerah-daerah yang biasanya menjadi kantong suara PPP tidak mengalami penurunan yang signifikan.
"Tidak terlalu signifikan. Ini konflik elite. Tidak sampai ke daerah," tukasnya.
Tidak terganggunya mesin partai, lanjut dia, dibuktikan dengan tidak banyak berubahnya struktur partai di wilayah yang menjadi peserta pilkada. Struktur kepengurusan di daerah, ungkap Aunur, didasarkan atas hasil Muktamar VII PPP Tahun 2011 di Bandung dengan Ketua Umum Suryadharma Ali dan Sekretaris Jenderal Romahurmuziy.
Politikus yang turun langsung jadi juru kampanye di Bengkulu untuk mendukung pasangan calon Gubernur-Wakil Gubernur Ridwan Mukti-Rohidin Mersyah itu bahkan mengaku secara keseluruhan PPP mendapatkan raihan 62 kemenangan di pilkada serentak kali ini.
Ia mengakui kemenangan itu tak selalu sebagai partai pengusung utama. Beberapa di antaranya hanya sebagai partai pendukung. Rofiq pun belum bisa merinci besaran kemenangan sebagai pengusung maupun pendukung. Ia hanya menyebut adanya kemenangan manis di empat pilgub, yakni Kepulauan Riau, Jambi, Bengkulu, dan Sulawesi Utara. (Kim/Nur/Nyu/P-3)