Headline

Dalam suratnya, Presiden AS Donald Trump menyatakan masih membuka ruang negosiasi.

Fokus

Tidak semua efek samping yang timbul dari sebuah tindakan medis langsung berhubungan dengan malapraktik.

Politik Uang Marak Jelang Pencoblosan

MI/BUDI KANSIL
08/12/2015 00:00
Politik Uang Marak Jelang Pencoblosan
(ANTARA/ANIS EFIZUDIN)
KESIGAPAN aparat kepolisian di Cianjur, Jabar, mengawal pelaksanaan pilkada yang berlangsung besok patut diacungi jempol.

Betapa tidak. Petugas dari Polres Cianjur, Minggu (6/12), menangkap seorang anggota DPRD berinisial AZ dan seorang camat, AM, ketika bertransaksi uang ratusan juta rupiah yang diduga untuk memenangkan salah satu pasangan calon dalam Pilkada 2015.

Menurut Kapolres Cianjur AKB Guntur Rahayu, uang ratusan juta tersebut sedianya akan dibagikan oleh AZ dan AM kepada setiap koordinator desa serta koordinator kecamatan.

"Kami menyita uang tunai senilai Rp300 juta. Kami akan mendalami dari mana uang itu dan dipergunakan untuk apa. Kami menduga transaksi itu sebagai bentuk politik uang," kata Guntur, kemarin.

Ketua Panwaslu Cianjur Saeful Anwar menambahkan, pihaknya akan menelusuri dugaan politik uang yang melibatkan anggota DPRD Kabupaten Cianjur dan seorang aparatur sipil negara tersebut. "Termasuk meminta keterangan dari camat yang hendak memenangkan salah satu pasangan calon itu. Kami akan menginvestigasi sejauh mana keterlibatan dia."

Apabila camat AM terbukti melanggar karena terlibat kampanye, lanjut Saeful, sesuai Peraturan KPU No 7/2015 dan UU No 6/2015 tentang Aparatur Sipil Negara, AM bisa dijatuhi pidana 1-6 bulan dan denda sebesar Rp6 juta.

Aparat daerah rentan
Mantan Komisioner KPK Abdullah Hehamahua mengungkapkan pegawai negeri sipil di daerah rentan dipengaruhi oleh pasangan calon tertentu untuk melakukan praktik politik uang. "Tiga tahun lalu, ongkos untuk jadi kepala desa di Tegal mencapai Rp1 miliar. Di Tangerang atau Bekasi sekitar Rp5 miliar-Rp8 miliar. Kalau kepala desa segitu, berapa bupati dan wali kota?" tanya Abdullah.

Oleh karena itu, Abdullah berharap dalam pilkada se rentak, pemilih tidak tergiur oleh politik uang yang diberikan pasangan calon tertentu.

Pada pilkada-pilkada terdahulu, kata Abdullah, warga mudah terpengaruh oleh pemberian uang dari pasangan calon. Wajar apabila kandidat yang memiliki uang banyak memenangi pilkada kendati dirundung masalah.

"Substansi pilkada langsung tidak tercapai jika kepala daerah yang terpilih masih memiliki perilaku koruptif," tandas Abdullah.

Sementara itu, Wakil Ke tua Komisi II DPR Ahmad Riza Patria mengungkapkan pihaknya akan mengevaluasi jika pilkada serentak tidak menghasilkan kepala daerah yang berkualitas.

"Pilkada serentak perlu dievaluasi. Pada 2016 kami akan merevisi pasal-pasal pilkada yang masih kurang seperti calon tunggal dan parpol yang bersengketa," kata Riza.

Dia tidak menampik bahwa perilaku koruptif kepala daerah sudah membudaya. Itulah salah satu alasan DPR menilai pelarangan politik dinasti di pilkada serentak untuk memberikan kesempatan bagi lawan petahana.

"Sehingga kepala daerah yang koruptif tidak terpilih kembali. Namun, sulit untuk menang dari petahana yang memiliki kewenangan menggunakan anggaran daerah," ujar Riza. (Uta/X-4)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Admin
Berita Lainnya