Headline

Presiden memutuskan empat pulau yang disengketakan resmi milik Provinsi Aceh.

Fokus

Kawasan Pegunungan Kendeng kritis akibat penebangan dan penambangan ilegal.

Deradikalisasi Bergerak Lamban

Agus Utantoro
03/3/2017 08:19
Deradikalisasi Bergerak Lamban
()

BADAN Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) mencatat lebih dari 400 mantan narapidana radikalisme/terorisme di Indonesia belum tersentuh program deradikalisasi. Gerak lamban deradikalisasi itu antara lain disebabkan napi berhak menolak mengikuti program.

Deputi Bidang Pencegahan, Perlindungan, Deradikalikasi BNPT Mayjen Abdul Rahman Kadir mengemukakan itu, di Yogyakarta, kemarin.

"Saat ini baru sekitar 184 mantan teroris di 17 provinsi yang telah mengikuti program deradikalisasi," imbuh Abdul Rahman.

Ia mengatakan tidak semua napi bersedia menjalani deradikalisasi. Pihaknya pun tidak bisa memaksa. "Kami tidak dapat berbuat banyak karena itu merupakan hak napi."

Bila pun mereka bersedia ikut, penyadaran terhadap mantan teroris tidak mudah. Abdul Rahman mengatakan biasanya ideologi radikal sudah kuat tertanam pada mereka. Meski begitu, upaya tersebut harus dilakukan.

Salah satu cara yang dinilai cukup efektif mendekati mantan teroris yang sudah bebas dari penjara ialah dari segi ekonomi. Itu disebabkan tidak semua mantan napi terorisme memiliki kehidupan yang layak pascakeluar dari penjara.

Luputnya mantan teroris dari program deradikalisasi dikhawatirkan memperkuat aksi-aksi radikal. Ia mencontohkan Yayat Chadiyat, pelaku bom panci di Bandung beberapa hari lalu. Yayat merupakan residivis kasus terorisme yang baru bebas April 2015, tetapi ia belum sempat tersentuh program deradikalisasi.

Di hadapan para peserta Sarasehan Pencegahan Paham Radikal Terorisme dan IS yang diselenggarakan kalangan pegiat dunia maya Yogyakarta, Abdul Rahman mengungkapkan konten internet saat ini telah dimanfaatkan kalangan tertentu untuk menyebarkan narasi radikalisme di tengah masyarakat.

"Banyak cara yang mereka lakukan dengan menunggangi isu-isu nasional yang kemudian disesatkan dengan narasumber yang tidak jelas dan tidak bisa dipertanggungjawabkan. Artinya berita hoax digunakan kelompok radikal untuk memprovokasi masyarakat agar menjadi radikal," papar Abdul Rahman.

Penggunaan internet sebagai alat propaganda kaum radikal telah menandai lahirnya terorisme baru di Indonesia. Ia menyebutkan terorisme baru tersebut memiliki pola rekrutmen terbuka melalui media sosial. Hingga kemudian, lahirlah pelaku-pelaku terorisme tunggal atau lone wolf.

Oleh karena itu, Abdul Rahman meminta kalangan pecinta damai pegiat dunia maya terus bergerak ikut memerangi pola-pola yang baru tersebut.

Tumbuh subur
Ratusan gerakan radikal terdata tumbuh dan berkembang di Jawa Barat. Peran serta dan kerja sama semua pihak dibutuhkan untuk melakukan pengawasan.

Kapolda Jabar Irjen Anton Charliyan mengungkapkan, di antara ratusan gerakan radikal itu, gerakan mana saja yang kira-kira akan meledak atau melakukan aksi tidak mudah diidentifikasi. "Karena itu, untuk pengawasannya, dibutuhkan kerja sama semua pihak," kata Anton di Polres Indramayu, kemarin.

Ditambahkan Anton, masalah terorisme bukan semata masalah fisik, melainkan juga ideologi yang membutuhkan peran serta ahli agama untuk mengatasinya. (UL/P-1)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya