Headline

Kemenu RI menaikkan status di KBRI Teheran menjadi siaga 1.

Fokus

PSG masih ingin menambah jumlah pemain muda.

MK Harus Transparan Memutus Sengketa Pilkada

Golda Eksa
02/3/2017 19:15
MK Harus Transparan Memutus Sengketa Pilkada
(MI/Susanto)

MAHKAMAH Konstitusi (MK) diharapkan dapat responsif dan transparan dalam memutus perselisihan hasil pemilihan umum daerah (PHPUD). Sebab, ada kecenderungan tim pemenangan atau paslon melakukan pelbagai pelanggaran guna menghasilkan selisih suara yang melampaui ambang batas pengajuan sengketa.

Peneliti Kode Inisiatif Adam Mulya, menjelaskan sedianya syarat pengajuan perselisihan yang dibatasi untuk masing-masing pemohon tidak menjadi tolak ukur bagi MK, khususnya ketika mengkualifikasikan suatu perkara.

Ketentuan formal PHPUD, yakni ambang batas suara antara 0,5%-2% sesuai jumlah penduduk dan durasi pengajuan selama 3 hari pascapenetapan suara oleh KPUD itu merujuk Pasal 158 ayat (1) dan (2) UU Nomor 10 Tahun 2016 (UU Pilkada), serta Peraturan MK Nomor 1 Tahun 2017 tentang Pedoman Beracara Dalam PHPU Gubernur, Bupati, dan Walikota.

"Maka ini bisa menjadi polemik. Daerah yang terpaut sedikit atau jauh tidak dibahas subtansinya lantaran ditolak MK dipemeriksaan pendahuluan," ujar Adam disela-sela diskusi Peran Mahkamah Konstitusi Dalam Mewujudkan Keadilan Substansial: Pro Kontra Ambang Suara Sengketa Pilkada, di Jakarta, Kamis (2/3).

Menurut dia, meskipun pemohon sengketa tersebut dinyatakan tidak mampu memenuhi dua syarat formil, namun MK sebaiknya bisa mengambil sebuah kebijakan, seperti melakukan pemeriksaan terkait indikasi kecurangan pada perhelatan pesta demokrasi itu.

"Kenapa demikian? Karena bisa saja paslon yang memiliki selisih suara melewati batas tidak dapat lagi memperjuangkan hak elektoral karena sudah terjegal syarat persentase. Oleh karena itu, seharusnya seluruh permohonan dapat diputus diakhir, terutama setelah melihat dan memeriksa pokok permohonannya."

Senada disampaikan peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Fadli Ramadhanil. Katanya, sebagai evaluasi dari pelaksanaan sengketa hasil pilkada pada 2015, semestinya MK menjadikan sidang pemeriksaan pendahuluan untuk memeriksa kelengkapan dan kejelasan materi permohonan sesuai Pasal 26 Peraturan MK 1/2017.

Ia menilai sejauh ini instrumen hukum belum berjalan dengan baik, apalagi ketika menangani pelanggaran pilkada. Pun mekanisme penegakan hukum yang dianggap tidak maksimal itu lantaran masih terjadi politik uang dan intimidasi.

"MK mesti melihat masalah ini secara konsisten. Memang benar ada ambang batas selisih suara untuk mengajukan sengketa, tapi tetap perlu diuji apakah pilkada itu sudah terselenggara dengan baik," terang Fadli.

Peneliti Pusat Studi Konstitusi (Pusako) Fakultas Hukum Universitas Andalas Charles Simabura, menambahkan sidang pemeriksaan pendahuluan oleh MK diharapkan dapat memberikan ruang bagi pemohon untuk memperbaiki permohonan, ketimbang hanya dijadikan arena untuk menentukan permohonan itu apakah bisa dilanjutkan ke tahap pemeriksaan atau tidak.

"Nah, kita maunya saat pemeriksaan pendahuluan itu jika ada pemohon yang bisa memberikan bukti-bukti dugaan pelanggaran yang masif, MK mestinya membuka ruang untuk diperiksa pokok perkaranya," kata dia.

Diketahui dari 48 permohonan yang diajukan oleh pemohon ke MK, ternyata hanya terdapat 7 daerah yang dinyatakan memenuhi ambang batas suara. Sementara sisa permohonan lainnya diputuskan tidak memenuhi ambang batas yang ditentukan. OL-2



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya