Headline
Dalam suratnya, Presiden AS Donald Trump menyatakan masih membuka ruang negosiasi.
Dalam suratnya, Presiden AS Donald Trump menyatakan masih membuka ruang negosiasi.
Tidak semua efek samping yang timbul dari sebuah tindakan medis langsung berhubungan dengan malapraktik.
PELANGGARAN hak asasi manusia (HAM) di Papua dan Papua Barat selama 2016 meningkat hingga 68 kasus ketimbang tahun sebelumnya, 16 kasus. Langkah politik pemerintahan Jokowi-JK yang mengedepankan pendekatan kesejahteraan ketimbang keamanan belum berjalan efektif.
Penegasan itu dikatakan Presidium Jaringan Damai Papua (JDP) Neles Tebay di sela-sela diskusi bertema Ambiguitas Politik HAM Jokowi di Papua, di Kantor Setara Institute, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, kemarin (Senin, 20/2).
Sejauh ini pelanggaran HAM yang dilancarkan aparat TNI/Polri hanya menyasar warga asli Papua. Padahal, di wilayah Papua terdapat 1 juta lebih warga pendatang yang telah lama berdomisili, tetapi tidak pernah menjadi korban.
"Mengapa hanya orang Papua korbannya? Dalam refleksi saya memperlihatkan bahwa mungkin saja pelanggaran HAM itu bukan suatu kebijakan institusi. Artinya, pelanggaran HAM ini dibuat lebih sebagai inisiatif pribadi oknum TNI/Polri," ujar Neles.
Ironisnya, terang dia, apabila insiden itu dikatakan cenderung bersifat personal, ternyata justru banyak anggota lain yang ikut terlibat. Tercatat peristiwa serupa justru menyebar di 15 kabupaten di wilayah Papua.
Tindakan anarkistis aparat keamanan kian menegaskan warga asli Papua masih dianggap sebagai musuh negara. Jadi, dapat dimaklumi jika hanya warga Papua yang akhirnya menjadi korban berkedok upaya menghancurkan musuh negara.
"Kenapa warga non-Papua tidak jadi korban? Karena mereka dianggap bukan musuh negara. Jika selamanya warga Papua dianggap sebagai musuh negara, selama itu pula pelanggaran HAM masih akan terus terjadi."
Peristiwa itu membekas dan menjadi luka batin bagi warga asli Papua. Bahkan, pelanggaran HAM tersebut juga membangkitkan sikap antipati rakyat kepada anggota dan institusi TNI/Polri.
Ia menambahkan, polres dan polsek justru dipandang sebagai tempat angker. Tidak jarang warga asli Papua meradang akibat penyiksaan dan penganiayaan.
"Brimob juga dipandang sebagai pemicu kekerasan yang meresahkan rakyat. Dulu sebelum Brimob masuk Papua, warga merasa aman dan tenteram. Saat ini warga Papua dan DPRD setempat tegas menolak rencana pembangunan Mako Brimob di Wamena. Itulah sikap antipati masyarakat," ujarnya.
Wakil Ketua Setara Institute Bonar Tigor Naipospos menambahkan, Presiden Jokowi tidak memiliki satu pun kebijakan untuk menyelesaikan pelanggaran HAM dan kondisi demokrasi di Papua.
"Dalam langkah politik Presiden terkesan ambigu dan kontradiktif. Pemerintah masih melakukan aksi penangkapan secara masif terhadap aksi demonstrasi masyarakat Papua. Pemerintah dengan vulgar masih menghadirkan pendekatan militeristis." (Gol/P-5)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved