Headline
Presiden sebut negara butuh kepolisian tangguh, unggul, bersih, dan dicintai rakyat.
Presiden sebut negara butuh kepolisian tangguh, unggul, bersih, dan dicintai rakyat.
Puncak gunung-gunung di Jawa Tengah menyimpan kekayaan dan keindahan alam yang luar biasa.
ANALIS pertahanan Universitas Indonesia (UI) Connie Rahakundini Bakrie menduga polemik yang muncul terkait pengadaan Helikopter Agusta Westland (AW) 101 terkait dengan perang bisnis industri pertahanan internasional. Ia menyebut, ada pihak-pihak yang menggunakan petinggi militer untuk menghambat proses pengadaan helikopter buatan Inggris itu.
"Saya tidak tahu siapa yang intervensi, tapi ini jelas perang industri pertahanan dengan menggunakan petinggi kita. Padahal, kalau yang delapan (AW 101) besok selesai, Indonesia dalam beberapa tahun ke depan kita sudah bisa bikin heli sendiri," ujar Connie dalam diskusi bertajuk 'Alutsista Indonesia: Decision to Buy and Offset Requirement' di Tjikini Lima, Menteng, Jakarta, Minggu (19/2).
Seperti diberitakan, pembelian satu unit Helikopter AW 101 tipe VVIP menuai polemik. Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu dan Panglima TNI Jenderal TNI Gatot Nurmantyo kompak menyatakan tidak tahu menahu soal pembelian helikopter tersebut.
Sebelumnya, Kepala Staf TNI Angkatan Udara (KSAU) Marsekal TNI Hadi Tjahjanto menegaskan pengadaan Helikopter AW 101 sudah sesuai dengan prosedur. Menurut Hadi, pengadaan helikopter memang dibutuhkan bagi TNI AU mengingat helikopter angkut yang memiliki kemampuan SAR masih kurang.
"Kepala Staf TNI AU sudah berkirim surat ke Kemenhan untuk proses sampai dengan kontrak. Jadi semuanya sudah dipenuhi administrasinya," kata Hadi di Markas Besar TNI AU, Cilangkap, Jakarta Timur, Jumat (17/2) lalu.
Selain untuk pesawat AW 101 tipe VVIP, dijelaskan Connie, Kementerian Pertahanan juga telah menandatangani kontrak untuk pengadaan 8 helikopter angkut AW 101. Namun, karena polemik pengadaan AW101 tipe VVIP, sempat beredar kabar pengadaan 8 unit heli AW tipe angkut bakal dibatalkan.
"Saya pegang surat-menyuratnya dan itu confirm tanggal 7 November 2016 sudah ditantangani Menhan. Yang delapan itu mesti kejadian. Tidak boleh lagi kejadiannya seperti kemarin, karena sistem manajemen yang buruk, alutsistanya dikorbankan," cetusnya.
Lebih jauh, Connie mengatakan, munculnya polemik pengadaan AW 101 itu juga terkait dengan pernyataan yang dikeluarkan PT Dirgantara Indonesia (DI). Menurut dia, PT DI melakukan kebohongan publik dengan menyatakan bahwa pihaknya sudah mampu membuat helikopter angkut sendiri.
"Saya pikir Airbus emang enggak mau kita maju, kontrak kita dihambat. Gimana mau bisa bikin pesawat, insinyur mendekati pesawat enggak boleh. Yang boleh itu cuma tukang cat dan tukang ketok," ujarnya.
Seperti diberitakan, PT DI memiliki kerja sama dengan Airbus untuk membuat helikopter Super Puma untuk VVIP dan heli Cougar untuk kebutuhan pencarian dan penyelamatan (SAR). Presiden Joko Widodo (Jokowi) sempat menyatakan bakal tetap menggunakan helikopter Super Puma untuk VVIP Kepresidenan.
Padahal, menurut Connie, Super Puma kini dilarang terbang di sejumlah negara karena sering memiliki permasalahan di gear box pesawat. Selain itu, lanjut Connie, dalam pembuatan Super Puma, tidak terjadi alih teknologi dari Airbus ke PT DI.
"Ini kan kita dikerjain. Karena itu, PT DI harus membuka diri. Kalau memang ada kontrak yang lebih baik seharusnya diterima. AW sudah kirimkan 12 surat untuk lakukan kerja sama, tapi tidak ditanggapi. Sudah saatnya PT DI menghentikan 40 tahun kontrak yang tidak menguntungkan dengan Airbus," cetusnya.
Direktur Lembaga Manajemen Fakultas Ekonomi Bisnis (FEB) UI Toto Pranoto mengatakan, industri pertahanan perlu serius dibenahi. Jika dibandingkan dengan pemain-pemain utama di pasar global semisal Locheed Martin, Boeing dan BAE System, profil keuangan pemain-pemain lokal ibarat langit dan bumi.
PT DI dengan aset senilai Rp2,88 triliun pada 2014 misalnya, hanya memiliki revenue sebesar Rp1,48 triliun dan laba bersih Rp51 miliar. Pada tahun yang sama, Lockheed Martin memiliki nilai penjualan sebesar US$37,5 miliar.
"Dengan nilai sebesar ini, kalau ada bencana, semisal produk yang gagal dan tidak terjual, bisa dipastikan PT DI akan kesulitan bangkit atau bahkan bangkrut," ujarnya.
Ia pun sepakat perlu ada audit terhadap kinerja PT DI. Perlu dipastikan sejauh mana konten lokal masuk dalam pembuatan sebuah pesawat dan apa saja kapabilitas PT DI dalam membuat pesawat. "Dari situ, baru kita tahu kontrak yang ada selama ini menguntungkan enggak buat kita," ujarnya.
Dosen Universitas Pertahanan (Unhan) Andrea Abdul Rahman mengatakan, polemik pengadaan AW 101 harus dijadikan momentum pembenahan industri pertahanan secara menyeluruh. Menurut dia, kemampuan industri pertahanan untuk memenuhi kebutuhan alutsista TNI saat ini masih sangat terbatas.
Hal itulah yang menyebabkan, TNI sebagai pengguna kerap lebih memilih membeli barang jadi dari luar ketimbang menggunakan produk-produk eksperimen dari dalam negeri.
"Bukannya enggak mampu, tapi untuk bikin produk dengan spek tertentu itu butuh waktu. Jadi, seringkali antara kebutuhan TNI dan yang ada di industri itu enggak sesuai," ujarnya. (OL-3)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved