Headline
Tidak ada solusi militer yang bisa atasi konflik Israel-Iran.
Para pelaku usaha logistik baik domestik maupun internasional khawatir peningkatan konflik Timur Tengah.
KOMISI Pemberantasan Korupsi (KPK) diminta mengungkap penyamaran aset dan para pihak lain yang terlibat suap mantan Dirut PT Garuda Indonesia Emirsyah Satar. Itu patut dilakukan supaya penanganan perkara korupsi lintas negara bisa menimbulkan efek jera.
Hal itu dipaparkan ahli tindak pidana pencucian uang (TPPU) Universitas Trisakti Yenti Garnasih. Menurutnya, pelaku korupsi kerap menutupi kejahatannya dengan penyamaran hasil korupsi ke dalam bentuk barang atau lainnya. Karena itu, KPK harus mengungkap TPPU untuk tersangka penerima suap yang saat ini baru terungkap Rp52 miliar itu supaya penanganan korupsi lebih signifikan. Apalagi, perkara suap itu diduga dilakukan berkali-kali pada 2004-2015.
"KPK harus telusuri bagaimana pemberian suap itu, apakah cash atau transfer dan setelah itu uang suap yang diterima dikemanakan, dan untuk apa, itulah TPPU-nya. Jadi KPK harus segera sangkakan TPPU. Tidak boleh ditunda seharusnya, sidik sekaligus," ujar Yenti.
Mantan anggota pansel KPK jilid IV itu juga mendesak KPK memaksimalkan pengungkapan TPPU dengan menelusuri seluruh aset hasil suap yang diterima Emirsyah supaya bisa dikembalikan ke negara, kemudian menjerat seluruh pihak yang terlibat dalam modus korupsi yang jarang terungkap ini.
Yenti menilai Emirsyah cerdik dalam menjalankan aksi menerima suap dari Rolls-Royce atas pengadaan mesin pesawat karena berupaya menghindari pengawasan KPK atau PPATK. Menerima suap di Singapura menunjukkan bahwa Emirsyah lihai menjalankan modus operandinya.
Menurut peneliti senior Indonesia Cooruption Watch Febri Hendri, KPK harus fokus pada perkara Emirsyah karena melibatkan perusahaan asing. Modus yang dilakukan Emirsyah harus menjadi cermin untuk pemberantasan korupsi di BUMN dan institusi negara.
"Korupsi BUMN banyak terjadi karena BUMN mengelola bisnis dengan nilai besar. Banyak pelaku korupsi BUMN yang belum berhasil seperti di BUMN energi dan pertambangan," kata dia.
KPK, Kamis (19/1), menetapkan Emirsyah dan beneficial owner Cannaught International Pte Ltd Soetikno Soedarjo sebagai tersangka dalam kasus dugaan suap pengadaan mesin pesawat dari Rolls-Royce Plc pada PT Garuda Indonesia (persero).
Emirsyah diduga menerima suap dari Soetikno dalam bentuk uang dan barang. Fulus yang diterima Emirsyah senilai 1,2 juta euro dan US$180 ribu atau setara Rp20 miliar. Sementara itu, barang yang diterima senilai US$2 juta tersebar di Singapura dan Indonesia.
Pengawasan
Di lain sisi, kasus suap yang menimpa Emirsyah diharapkan bisa menjadi jalan untuk meningkatkan pengawasan BUMN. Hal itu dinilai perlu, sebab selama ini pengawasan pengadaan dan pembelanjaan di perusahaan pelat merah dinilai kurang mendalam.
"DPR kesulitan melakukan pengawasan mendalam karena kita enggak bisa masuk ke pengawasan pengadaan dan pembelanjaan secara dalam," kata anggota Komisi VI Darmadi Durianto, Jumat (20/1).
Hal itu, kata Darmadi, perlu dilakukan supaya pengawasan lebih efektif. Saat ini, kata dia, Komisi VI sedang berupaya untuk bisa merombak total Undang-Undang BUMN agar bisa memperkuat sistem pengawasan.
Nantinya, lanjut Darmadi, revisi terkait dengan pengawasan terhadap BUMN akan dibuat ketat dan efektif. Pengetatan tersebut, jelasnya, misalnya dimulai dari pemilihan direksi hingga komisaris BUMN.
Menteri BUMN Rini Soemarno meyakini BUMN seperti PT Garuda Indonesia Tbk (persero) saat ini sudah lebih mengedepankan tata kelola perusahaan yang benar sehingga proses pengadaan barang dan jasa perusahaan dapat diawasi serta dipertanggungjawabkan. (MTVN/Ant/X-6)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved