Headline
Sebaiknya negara mengurus harga barang dulu.
KASUS penahanan terhadap Tajudin penjual cobek yang dituduh mengeksploitasi anak, mengindikasikan lemahnya kontrol terhadap kasus-kasus yang bergulir ke pengadilan.
Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), Haris Azhar menilai dalam kasus tersebut mekanisme pengawasan terhadap kasus-kasus yang ditangani kepolisian dan dilimpahkan kepada kejaksaan, sama sekali tidak jalan.
Seperti diberitakan, Tajudin baru saja keluar dari Lapas Jambe, Tangerang setelah terkurung selama 9 bulan. Lelaki berusia 41 tahun tersebut sebelumnya ditangkap jajaran Polres Tangerang Selatan lantaran dituduh mengeksploitasi dua bocah di bawah umur. Namun, tuduhan itu tak terbukti setelah hakim menyatakan Tajudin tak bersalah. Tajudin pun berencana menggugat balik polisi.
"Penyidik kepolisian dan jaksa penuntut umum (JPU) menjadi pihak yang harus bertanggung jawab atas lamanya penahanan terhadap Tajudin. Kinerja polisi dan JPU tampak serampangan dalam kasus ini. Polisi terlihat hanya menghabiskan anggaran penanganan kasus tanpa memperdulikan kasusnya seperti apa," ujar Haris saat dihubungi di Jakarta, Minggu (15/1).
Haris menyebut, ada banyak kasus serupa. Di Situbondo misalnya, pada 2015, Nenek Asyani ditangkap dan ditahan karena dituduh mencuri kayu jati. Kasus-kasus penyiksaan pun kerap dilakukan penyidik kepolisisan demi mendapatkan 'bukti' yang diinginkan.
"Ini merupakan berita buruk bagi warga miskin. Kasus Tajudin mengindikasikan warga miskin yang tidak punya akses terhadap informasi atau media, masih tetap rentan dikriminalisasi dan penyalahgunaan diskresi polisi," ujarnya.
Selain penguatan terhadap kontrol para penyidik polisi secara internal, Haris mengatakan, perlu dibangun mekanisme pengawasan eksternal yang kuat untuk mengecek kinerja penyidik kepolisian ke depan. Jika perlu, Presiden pun bisa membentuk tim untuk mendata dan memetakan kasus-kasus kriminalisasi terhadap masyarakat miskin yang terjadi selama ini.
"Pengawasan internal saja selama ini tidak cukup. Biarpun sudah ada propam dan Kompolnas, kita lihat polisi masih seenaknya saja mengunakan diskresi mereka. Kalau perlu, seperti di banyak negara, seharusnya dibikin semacam Hakim Komisaris yang menentukan layak atau tidaknya sebuah kasus masuk pengadilan," jelas dia.
Menanggapi kasus yang dialami Tajudin, Koordinator Bidang Bantuan Hukum Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Julius Ibrani, menyarankan agar Tajudin menggugat balik. Gugatan tersebut bisa dilayangkan tak hanya kepada para penyidik saja, tetapi juga kepada institusi kepolisian dan kejaksaan.
"Ini kelalaian yang menunjukkan adanya sistem yang buruk. Kalau kita lihat, kasusnya sudah ramai diberitakan di media, tapi masih bablas begitu saja. Jadi yang salah bukan hanya penyidiknya saja, tapi juga karena memang sistemnya yang buruk. Jadi institusi juga harus bertanggungjawab membenahi ini," ujarnya.
Ditambahkan Julius, kasus Tajudin menunjukkan lemahnya koordinasi antara keplisian dan kejaksaan dalam menangangi sebuah kasus. Selain itu, pengawasan terhadap tindak-tanduk penyidik dan jaksa penuntut umum pun cenderung tak jalan.
"Ini (kasus Tajudin) harus jadi momentum penguatan pengawasan internal terhadap kasus-kasus yang ditangani jaksa dan penyidik. Jangan sampai hak asasi seseorang kembali terlanggar karena buruknya sistem peradilan," tandasnya.OL-2
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved