Headline
RI dan Uni Eropa menyepakati seluruh poin perjanjian
Indonesia memiliki banyak potensi dan kekuatan sebagai daya tawar dalam negosiasi.
KEBERADAAN Agus Harimurti Yudhoyono sebagai salah satu calon Gubernur DKI Jakarta dipandang berpotensi menjadi dinasti politik baru di Ibu Kota. Tidak transparannya proses pencalonan Agus jadi indikasinya. Perlu diwaspadai pengaruh sang bapak (Susilo Bambang Yudhoyono) jika Agus menjabat. Dalam perjalanannya, praktik politik dinasti tersebut banyak menimbulkan efek negatif ketimbang positif.
"Memang beda jauh dengan Banten yang dinasti politiknya sudah mengakar. Tapi potensi (dinasti politik di Jakarta) jadi kuat. Ini tak bisa dijelaskan kecuali dengan faktor SBY," kata Direktur Lingkar Madani untuk Indonesia (Lima) Ray Rangkuti, kemarin (Selasa, 3/1).
Menurutnya, faktor SBY yang dimaksud ialah perannya dalam menjadikan Agus sebagai bakal calon Gubernur DKI yang diusung Partai Demokrat, PAN, PKB, dan PPP.
Sebelumnya, nama Agus sama sekali tak masuk bursa pencalonan lewat jalur pendaftaran normal seperti yang dilakukan salah satu bakal calon dengan elektabilitas yang sudah terukur, yakni Yusril Ihza Mahendra.
"Kenapa enggak Yusril saja yang memang mendaftar? Agus justru belum kelihatan, belum ada elektabilitasnya. Pencalonannya tidak melalui mekanisme yang lazim. Satu-satunya yang bisa menjelaskan itu ialah karena bapaknya ketua umum partainya," jelas Ray.
Lalu bagaimana dengan kepala daerah yang tak lahir dari politik dinasti?
Ray menyebut ada beberapa keuntungan daerah yang pemimpinya bukan dari <>trah politik dinasti. Ia mencontohkan Bantaeng, Purwakarta, Bandung, dan Banyuwangi.
"Kita perbandingkan dengan daerah-daerah yang tak ada dinasti politik, justru kemajuan relatif bagus. Misalnya Bandung, Purwakarta, Bantaeng, Banyuwangi. Daerah-daerah ini yang kini kita lihat jadi mercusuar," kata Ray.
Ketertutupan
Peneliti di Pusat Studi Islam dan Kenegaraan (PSIK) Indonesia Arif Susanto menyebut ketertutupan ialah salah satu kondisi yang menyuburkan dinasti politik. Korupsi politik selalu menyertai dinasti itu. Meski begitu, dia mengakui dengan keberadaan Agus, tak berarti langsung terjadi dinasti politik.
Yang perlu diwaspadai masyarakat ialah saat hubungan keluarga dengan mantan presiden itu dimanfaatkan sebagai modal politik untuk membangun kekuasaan politik dan ekonomi terpusat alias oligarki baru.
"Bukan menolak kandidat yang memiliki keturunan (pejabat). Tapi bagaimana menjadi kandidat yang layak untuk dipertimbangkan. Agus tidak bisa kita tolak. Tapi, kalau punya jabatan lalu membangun oligarki baru, itu yang harus kita serang, kita kontrol," paparnya.
Menurut Arif, saat inilah harusnya partai politik mengedepankan pendidikan atau literasi politik untuk membangun isu yang lebih berbobot di pilkada Jakarta. Isu yang berkembang saat ini ialah lebih pada persoalan penistaan agama dan politik identitas yang berdasarkan SARA.
"Masyarakat gampang melihat kulit luarnya. Jakarta tidak bergerak ke hal yang lebih substansial. Padahal, Jakarta dianggap memiliki tingkat literasi politik lebih tinggi. Tapi melulu soal hiruk pikuk politik identitas untuk jatuhkan pihak lain dan ambil keuntungan politik. Ini dosa besar parpol: alpa pendidikan politik," jelas Arif. (P-2)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved