Headline
Konsistensi penegakan hukum perlindungan anak masih jadi tantangan
Konsistensi penegakan hukum perlindungan anak masih jadi tantangan
Di Indonesia, cukai rokok sulit sekali naik, apalagi pada tahun politik.
BELAKANGAN ini bangsa Indonesia seperti sedang kehilangan arah terutama terkait nilai-nilai persatuan dan kebinekaan. Nilai-nilai persatuan dan kebinekaan seolah tidak lagi menjadi fondasi dalam memperkuat dan merekatkan keberagaman di Indonesia. Kondisi ini juga tidak terlepas dari kuatnya pengaruh luar.
Menganggapi hal ini, pengamat Komunikasi Politik, Maksimus Ramses Lalongkoe, mengatakan, perubahan degradasi nilai-nilai yang terjadi di dalam negeri tidak terlepas dari kuatnya pengaruh luar.
"Jika pengaruh dari luar ini dilakukan melalui pola-pola komunikasi bersifat doktrinasi, pengaruh tersebut mampu menggerus dan merenggangkan nilai-nilai persatuan dan kehinekaan suatu bangsa," kata Ramses di Jakarta, Kamis (29/12).
Lebih lanjut ia menjelaskan, sarana komunikasi era teknologi informasi saat ini memudahkan semua orang tanpa mengenal status dan strata sosial mampu melakukan komunikasi dengan dunia tanpa batas. Dunia menjadi sempit karena beragam sarana komunikasi telah tersedia.
Menurut dia, kondisi ini tentu berbahaya dan berpotensi terjadinya komunikasi doktrinisasi jarak jauh tanpa harus face to face atau tatap muka secara langsung. Untuk itu, pemerintah sebagai pihak yang memiliki kekuasaan dalam suatu negara perlu mendeteksi secara cepat pengaruh-pengaruh yang tentu mengancam keberagaman bangsa Indonesia.
"Pendeteksian ini dapat dilakukan berbagai cara sehingga mampu membendung pihak-pihak yang terserang virus doktrinisasi ekstremisme. Selain cara-cara konvensional, pola pendekatan melalui penguatan Pancasila sudah seharusnya pemerintah galakkan saat ini," imbuh Ramses.
Penguatan Pancasila sebagai alat pemersatu bangsa merupakan hal penting mengingat Indonesia ialah negara dengan keberagaman agama, suku, ras, dan golongan, sehingga Pancasila dibutuhkan terkait dengan integrasi nasional.
Ia menambahkan, rintangan utama pada pembangunan integrasi nasional saat ini ialah eksistensi dari etnis atau minoritas kultural dalam sebuah negara yang menolak kecenderungan integrasi. Makna rasa kesukuan bahkan menjadi lebih dramatis dalam masalah-masalah integratif yang timbul di negara-negara di mana masyarakatnya memiliki identitas etnis yang sangat kuat.
"Dalam dinamika pluralisme Indonesia tersebut, kewarganegaraan hadir dalam rangka pemersatu di antara perbedaan yang ada dan untuk meningkatkan rasa nasionalisme terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pancasila yang merupakan konsep dari Bhinneka Tunggal Ika, harus lebih diperkuat lagi bagi warga bangsa terutama bagi para pelajar, sehingga nilai-nilai Pancasila tertanam dalam diri manusia Indonesia sebagaimana yang dilakukan pemerintahan Soeharto. Kalau nilai-nilai Pancasila tidak segera diperteguh oleh pemerintah maka bangsa Indonesia menjadi negara potensial masuknya doktrinasi ekstremisme pihak-pihak luar yang bisa menggerogoti bangsa Indonesia," katanya.
Direktur Eksekutif Lembaga Analisis Politik Indonesia itu menegaskan, presiden sebagai panglima tertinggi, kepala negara, dan kepala pemerintahan tidak boleh tunduk atau kompromi politik dengan pihak-pihak yang berpotensi meretakan persatuan Indonesia.
"Presiden memiliki banyak alat negara yang bisa digerakan untuk kepentingan bangsa dan negara. Presiden sebagai komando utama juga tidak boleh terikat oleh kekuatan-kekuatan politik apapun yang memiliki potensi memecah belah kebinekaan," tegas Ramses.
Lebih lanjut ia mengatakan, Presiden sejatinya mampu dan mau menjalankan cara-cara yang efektif dan efisien dalam menuntaskan perilaku-perilaku destruktif yang merugikan negara dan kepentingan umum. (RO/OL-4)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved