Headline

Banyak pihak menyoroti dana program MBG yang masuk alokasi anggaran pendidikan 2026.

Aturan Longgar Jadi Celah Curi Start Kampanye

Nur Aivanni Fatimah
10/10/2016 00:45
Aturan Longgar Jadi Celah Curi Start Kampanye
(ANTARA/RIVAN AWAL LINGGA)

BAKAL pasangan calon kepala daerah sudah mulai melakukan sosialisasi atau pengenalan diri kepada masyarakat. Namun, sosialisasi yang mereka lakukan justru mirip sebuah kampanye. Hal itu sangat kentara, khususnya di pilkada DKI Jakarta. Ada tiga bakal pasangan calon yang akan mengikuti pemilihan gubernur dan wakil gubernur, yaitu Basuki Tjahaja Purnama-Djarot Saiful Hidayat, Agus Harimurti-Sylviana Murni, dan Anies Baswedan-Sandiaga Uno.

Anies, bakal cagub yang diusung Partai Gerindra dan PKS, contohnya, telah mengunjungi warga Tanah Merah, Rawa Badak, Jakarta Utara, Minggu (2/10). Dalam kunjungannya, Anies menandatangani 'kontrak politik' yang disodorkan warga. Salah satunya ia melegalisasi kampung-kampung yang dianggap ilegal. Agus Harimurti, bakal cagub yang diusung Partai Demokrat, PKB, PAN, dan PPP, juga telah melakukan kegiatan lari bareng di Senayan, Jakarta Pusat, Minggu (2/10). Ia berlari didampingi ayahnya yang juga Presiden keenam RI, Susilo Bambang Yudhoyono.

Bahkan, bakal calon Wakil Gubernur DKI Jakarta Sandiaga Uno turut menghadiri acara Jakarta Berlari yang diselenggarakan Forum Sandiaga Uno (FSU) DKI. Dalam Peraturan Komisi Pemilihan Umum Pasal 69 terkait dengan hadiah dalam perlombaan saat kampanye, nilai barang yang diberikan paling banyak Rp1 juta. Bagaimana hadiah mobil dan motor? Tentu nilainya lebih besar dan dipastikan melanggar aturan. Bawaslu tidak bisa menindak pelanggaran apa yang telah dilakukan bakal calon tersebut. Alasan mereka ialah mereka belum ditetapkan sebagai calon kepala daerah.

Selain itu, masa kampanye baru akan dimulai pada 28 Oktober 2016 sampai 11 Februari 2017. Padahal, bakal calon kepala daerah baru akan ditetapkan sebagai calon gubernur dan wakil gubernur pada 24 Oktober mendatang setelah mereka mendaftarkan diri pada 21-23 September lalu ke KPUD.

Beri celah
Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini mengakui ada celah yang diberikan UU Pilkada bagi para bakal calon kepala daerah untuk memanfaatkan masa sosialisasi. "Karena memang terbuka celah itu di UU Pilkada," katanya. Selama sebelum ditetapkan sebagai calon, para bakal calon tersebut diperbolehkan melakukan sosialisasi kepada publik. Namun, masa sosialisasi atau prakampanye tersebut malah dimanfaatkan mereka seperti masa kampanye. Penyebabnya, saat masa sosialisasi, tidak ada aturan yang mengikat soal apa saja yang dilarang atau dibolehkan.

Titi mengingatkan sebenarnya pengawasan dalam setiap tahapan pilkada sudah ada, termasuk tahapan pencalonan. Sayangnya, hal itu tidak direspons secara responsif. "Itu yang jadi kritik kita. Bisa jadi karena problem kompetensi (panwas) atau juga karena memang tidak mau repot mengawasi," lanjutnya. Karena itu, diperlukan penegasan soal apa saja yang dilarang dan diperbolehkan dalam masa sosialisasi atau prakampanye. Pemanfaatan masa sosialisasi, seperti masa prakampanye para bakal calon, katanya, hampir terjadi di semua daerah, tidak hanya di kota-kota besar seperti Jakarta.

"Kampanye itu ketika pasangan sudah ditetapkan sebagai calon. Kalau di luar itu mereka dianggap sedang sosialisasi," ujar komisioner Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), Nasrullah. Akibatnya, berbagai bentuk kampanye yang diartikan sebagai sosialisasi itu akhirnya bisa dianggap bukan ranah pelanggaran. "Karena kita mana tahu sebenarnya dia nanti benar jadi calon atau tidak," kata dia. Pengawas pun hanya bisa memberikan sanksi teguran kepada tim pasangan calon. Ia mengatakan sebenarnya tidak ada persoalan bagi seluruh bakal calon untuk bersosialisasi sebelum periode kampanye.

Petahana yang masih aktif menakhodai kursi pemerintah daerah juga bisa dianggap tengah bersosialisasi ketika kembali mencalonkan diri. "Petahana juga kan sebenarnya bisa saja kita anggap bersosialisasi duluan selama empat tahun ke masyarakat. Makanya sebenarnya itu tidak jadi soal." Penyelenggara pilkada serentak di daerah pun diarahkan supaya bisa memastikan setiap pasangan calon di pilkada serentak mengedepankan kampanye positif. Karena itu, KPU memberikan kewenangan kepada penyelenggara di daerah untuk menerbitkan keputusan pembatasan dana kampanye.

"Harapannya itu supaya kalau terpilih ya bisa menjamin integritas. Bukannya nanti malah pusing bagaimana supaya bisa mengembalikan dana kampanye yang begitu besar," imbuh komisioner KPU, Ida Budhiati. Ida berharap pembatasan dana kampanye pemilihan kepala daerah bisa membuat kampanye lebih substantif. Terlebih, kebijakan itu juga bisa mengurangi risiko terjadinya politik uang.

Kekosongan aturan
Seharusnya masa sosialisasi atau prakampanye tidak sepatutnya dijadikan sebagai ajang untuk mengampanyekan janji-janji politik para bakal calon gubernur dan wakil gubernur DKI Jakarta. Penyampaian visi-misi dan janji-janji politik seharusnya dilakukan pada masa kampanye resmi. "Yang diatur PKPU itu masa kampanye dimulai setelah 27 Oktober dan tiga hari sebelum pencoblosan. Sudah ada jadwalnya, jadi etisnya kontrak politik dan visi misi itu disampaikan pada masa itu. Masa pra kampanye hanya terbatas untuk pengenalan diri," ujar Ketua Komisi II DPR, Rambe Kamarul Zaman.

Namun, menurut Rambe, memerkarakan tindakan para bakal calon yang mencuri start kampanye ialah hal sulit. Bawaslu hanya bisa efektif mengawasi kegiatan para calon pada saat kampanye resmi. Di luar itu, tidak ada aturan yang melarang para bakal calon untuk obral janji di depan publik. "Jadi memang tidak ada aturannya yang melarang. Kan masih bakal calon, belum resmi, jadi bagaimana menanganinya? Tapi apa yang terjadi akan menjadi masukan bagi DPR untuk bikin aturan yang lebih rinci mengatur masa prakampanye, terkait dengan apa yang boleh dan apa yang tidak boleh dilakukan," cetus Rambe. (Jay/Deo/P-2)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Dedy P
Berita Lainnya