Menuju Penguatan Sistem Presidensial

Arif Hulwan
01/8/2016 02:30
Menuju Penguatan Sistem Presidensial
(ANTARA/APRILLIO AKBAR)

ANOMALI politik terjadi ketika partai kelas menengah ke bawah mengusulkan peningkatan ambang batas parlemen secara drastis. Partai besar pun mayoritas masih bimbang.

Mereka yang besar masih berpikir ulang. Patut diduga ada misi melindungi kartel politik. Namun, tetap ada kecenderungan semangat untuk menguatkan sistem presidensial.

Belum lama ini, Ketua Umum Partai NasDem Surya Paloh menyodorkan ambang batas parlemen (parliamentary threshold/PT) sebesar 7%. Isu itu dilontarkannya terkait dengan rencana proses revisi UU Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilu Legislatif. Dalam UU itu, ambang batas parlemen masih sebesar 3,5%.

Seperti tidak mau kalah, Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar mengungkapkan angka 9% sebagai ambang batas parlemen pilihan partainya. Baginya, peningkatan drastis angka itu diperlukan karena sistem multipartai di Indonesia sudah kebablasan dan hanya menghasilkan instabilitas sekaligus menimbulkan tersia-siakannya partisipasi politik.

Sekretaris F-NasDem DPR Syarief Abdullah Alkadrie mengatakan pilihan partainya itu bukan sekadar disebabkan kepercayaan diri tinggi. Ini merupakan bentuk konsistensi sikap politik dengan garis politik atau platform partai, yakni restorasi.

Platform tersebut mengharuskan adanya pemerintahan yang efektif. Oleh sebab itu, jumlah parpol di parlemen mesti dikurangi. "NasDem siap menanggung konsekuensi itu kalaupun tidak masuk PT sebesar 7% karena kita memang menginginkan bagaimana ada penyederhanaan partai sehingga sistem pemerintahan yang sudah kita sepakati itu bisa berjalan baik."

Di pihak lain, empat partai dengan perolehan kursi terbanyak di parlemen masih menunda kepastian sambil melihat dinamika partai lain. Anggota Komisi II DPR dari PDIP Arif Wibowo mengaku mendukung peningkatan ambang batas parlemen itu. Namun, ia belum bisa menyebutkan angka.

Wakil Ketua Umum Partai Demokrat Nurhayati Ali Assegaf tidak menginginkan kenaikan PT yang tajam karena itu amat mungkin menutup aspirasi masyarakat. Apalagi, sejauh ini belum ada arahan baik dari Ketua Umum Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono maupun keputusan resmi partai soal itu.

Ketua Umum Partai Golkar Setya Novanto juga masih menimbang soal ini. Akan tetapi, ia sudah menunjuk Sekjen Partai Golkar Idrus Marham untuk merumuskannya lebih jauh. Untuk ancang-ancang, Novanto menyodorkan angka ambang batas antara 5%-7%.

Idrus mengaku masih akan merumuskannya di Rapimnas Partai Golkar. Namun, belum juga ada rumusan pasti setelah rapimnas usai.

Meski begitu, ketiga partai tersebut sepakat soal kebutuhan penguatan sistem presidensial yang menjadi dasar peningkatan PT. Makin sederhana parpol di parlemen akan membuat pemerintah makin nyaman.

Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Fadli Zon pun mengakui partainya belum membicarakan secara detail soal ambang batas ini. Dia menilai peningkatan perlu dilakukan antara 4%-5%.

Tidak signifikannya kenaikan itu disebut berkaitan dengan suara pemilih yang potensial hilang jika penyederhanaan partai terlalu besar.

Percaya diri

Direktur Eksekutif Charta Politika Yunarto Wijaya menyebut fenomena partai yang mengembangkan sikap ini bisa berarti adanya rasa percaya diri.

Kedua, ada perbedaan penafsiran soal sistem keterwakilan yang proporsional. Jika ambang batas dinaikkan secara signifikan, proporsionalitas itu hilang karena banyak partai yang gagal ke parlemen.

Ketiga, ada upaya partai besar untuk melindungi aliansi politik mereka dari ketersingkiran, sekaligus melindungi kepentingan mereka sendiri.

"Dalam konteks kartel politik, mereka menginginkan ada aktor-aktor yang tetap bertahan untuk jadi sahabat dalam sistem politik yang mereka bangun bersama," ujar Yunarto.

Di sisi lain, ia memandang partai-partai menengah yang mengusulkan penaikan ambang batas secara drastis itu mestinya memiliki kesiapan dan kepercayaan diri tinggi untuk meraih suara lebih banyak lagi pada 2019. "Ya harus percaya diri. Kalau tidak, mereka bunuh diri secara politik. Ini pertaruhan besar."

Terlepas dari itu, Yunarto sepakat dengan penaikan ambang batas parlemen. Ia menawarkan angka 5%-10%. Ini diprediksi bisa meloloskan lima partai ke DPR.

Hal tersebut sejalan dengan semangat pelaksanaan pemilu legislatif dan pemilu presiden yang akan dilakukan secara serentak pada 2019, yakni, efisiensi. Ujungnya membuat nyaman presiden.

"Ini memperkuat sistem presidensial. Ketika jumlah partai lebih sedikit, presiden lebih mudah melakukan proses konsolidasi dengan parlemen," imbuhnya.

Sekadar informasi, Gerindra sejak Pilpres 2014 sudah berkoalisi dengan PKS--urutan keempat dari bawah jumlah kursi di parlemen--dan membentuk Koalisi Merah Putih (KMP). Sementara itu, Partai Golkar saat ini tergabung dalam koalisi pendukung pemerintah bersama PPP, PAN, PKB, Partai NasDem, dan Partai Hanura.

Multipartai

Sebenarnya, tinggi atau rendahnya ketentuan nilai ambang batas parlemen (parliamentary threshold) belum tentu menjamin terciptanya sebuah rancangan sistem multipartai sederhana. Pasalnya, Indonesia memiliki dinamika dan kekhasan yang tidak selalu sejalan dengan konsep demokrasi maupun sistem pemilu pada umumnya.

"Kita tidak perlu khawatir untuk merancang sistem multipartai yang sederhana, seolah menjadi momok yang semakin rumit dengan melihat banyaknya partai," ujar Koordinator Komite Pemilih Indonesia Jerry Sumampouw.

Sebagai contoh, realitas politik pada tiga pelaksanaan pemilu presiden sebelumnya ternyata sangat bergantung pada kesepakatan serta negosiasi antara presiden terpilih dan beberapa parpol pendukung serta parpol yang berada di luar pemerintah.

Penyebab terjadinya dinamika itu ialah parpol pengusung utama terkadang tidak bersedia mengikuti kebijakan pemerintah. Sedianya yang menjadi acuan dalam sistem presidensial ialah keputusan presiden dan bukan mengikuti kebijakan politik partai.

"Presiden tidak bisa berharap dari partai pendukungnya dan inilah yang membuat kenapa presiden melirik partai lain. Kebiasaan demokrasi seperti ini dapat dilihat pada reshuffle kabinet Presiden Joko Widodo, yakni masuknya menteri dari partai baru (oposisi) pendukung pemerintah."

Koordinator Nasional Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR) Masykurudin Hafidz justru mengatakan penyederhanaan multipartai di Indonesia dapat direalisasikan jika dilakukan dengan merekayasa sistem pemilu, seperti memperkecil daerah pemilihan serta menerapkan ketentuan perolehan kursi dari kuota ke saint lague.

"Sistem ini secara otomatis akan menghasilkan jumlah partai sederhana. Tanpa hal itu, akan menghambat kemunculan partai baru," ujarnya.

Selain itu, elite partai pun tidak boleh larut dalam konflik yang dapat memicu perpecahan. Konflik tersebut biasanya berakhir dengan dibentuknya partai politik baru. Konsolidasi dipandang lebih bijaksana ketimbang memulainya dari titik awal.

"Gunakan partai yang ada atau bergabung dengan partai lama dan kemudian bersama-sama membesarkan partai itu. Pilihlah partai yang sesuai dengan latar belakang, visi, misi, maupun program."

Masykurudin tidak menampik sistem multipartai terkadang menghambat kebijakan yang dikeluarkan pemerintah. Alhasil, pemerintah terpaksa merangkul sejumlah partai agar pelaksanaan seluruh program itu tidak kembali terganjal.

Dalam sistem multipartai, idealnya hanya enam parpol yang menghuni parlemen. Parpol itu sebaiknya dapat terbagi menjadi tiga kelompok, antara lain partai nasionalis, religius, dan yang mengedepankan kekaryaan. (Gol/Pol/P-2)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Msyaifullah
Berita Lainnya