Headline
Tidak ada solusi militer yang bisa atasi konflik Israel-Iran.
Para pelaku usaha logistik baik domestik maupun internasional khawatir peningkatan konflik Timur Tengah.
SEKITAR 7% dana proyek negara ternyata dirampok kader partai politik. Menurut Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Agus Rahardjo, angka itu diungkap hampir semua kader partai saat disidik KPK terkait dengan skandal suap proyek.
Tak hanya itu, Rp1,05 triliun dana bantuan sosial diselewengkan kepala daerah. Dalam menyikapi praktik penggarongan uang negara itu, Agus menyatakan perlu dikaji soal peningkatan bantuan dana bagi partai politik.
“Mending selalu hilang sebesar itu atau secara sadar diberikan kepada partai untuk memberikan kesempatan orang yang kompeten masuk partai sambil menghilangkan sifat oligarki partai? Hanya saja perlu dibenahi tata kelolanya,” ungkap Agus di Jakarta, kemarin.
Ia berbicara dalam Pertemuan Nasional, Menata Ulang Dana Politik di Indonesia: Peluang Dana Politik melalui Anggaran Negara, di Kantor BPK. Menurutnya, dana bantuan bagi partai suka tidak suka harus ditambah karena partai ialah media penghasil pemimpin politik.
Untuk permulaan, Agus menyarankan dana itu naik ke angka 1% dari APBN atau sekitar Rp21 triliun. Pendanaan yang besar bagi partai terjadi di hampir semua negara. Jerman menyubsidi 50% dari pembiayaan partai, sisanya sumbangan kader.
“Zaman Orde Baru, birokrat seperti penampung tenaga kerja, tapi bayarannya sedikit. Cuma bisa bertahan 10 hari. Sisanya, cari sendiri. Akan tetapi, kerusakan yang ditimbulkan masih sampai sekarang. Jangan biarkan partai seperti itu. Kerusakannya akan makin parah,” cetusnya.
Pengetatan aturan
Penambahan anggaran partai politik harus didahului pengetatan aturan transparansi kas partai yang disertai sanksi agar tidak menjadi bancakan. “Yang memeriksa bukan hanya BPK, melainkan juga rakyat,” kata Agus.
Anggota IV BPK Rizal Djalil mengungkapkan ada tren kenaikan belanja dana hibah dan bantuan sosial menjelang pemilihan kepala daerah. Pada Pilkada 2009-2013, belanja hibah dan bantuan sosial setahun sebelum pemilihan mencapai Rp27,04 triliun.
Pada tahun pilkada, tren itu kembali naik menjadi Rp33,32 triliun dan setahun setelah pilkada menurun ke angka Rp10,21 triliun. Menurut Rizal, angka tersebut berasal dari hasil audit BPK terhadap 21 pemerintah provinsi pada 2014.
“Negara sebenarnya sudah mendanai biaya politik, tapi hanya dinikmati segelintir orang yakni incumbent melalui hibah dan bantuan sosial yang direkayasa. Apa kita harus berpura-pura, sementara partai hanya mendapat Rp108 per suara?” tanya Rizal.
Bekas anggota DPR dari Fraksi PAN itu menyatakan BPK siap menjadi fasilitator revisi UU Partai Politik dan paket UU Pemilu terkait dengan pendanaan partai.
Ia menyarankan sejumlah item pembiayaan partai politik masuk UU, yaitu biaya pendidikan politik (internal dan eksternal), biaya operasional seperti sewa kantor, serta biaya kampanye seperti survei, iklan, dan konsultan politik.
Ketua DPP PDI Perjuangan Bidang Politik dan Keamanan (nonaktif) Puan Maharani menambahkan, kecenderungan biaya politik yang tinggi memicu kader partai mencari dana tidak sah.
“Penting digagas regulasi pendanaan partai yang rigid menyangkut sumber dana, pengelolaan, dan akuntabilitas,” tandas Puan. (P-5)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved