Pelarangan Politik Uang Ambigu

04/7/2016 00:45
Pelarangan Politik Uang Ambigu
(ANTARA/HERRY MURDY)

DEWAN Perwakilan Rakyat (DPR) dan pemerintah masih setengah hati untuk memperketat pencegahan praktik politik uang dalam pemilihan kepala daerah.

Di satu sisi, Undang-Undang (UU) No 10 Tahun 2016 tentang Pilkada mengatur sanksi berat bagi pelaku politik uang.

Di sisi lain, didapati aturan yang melegalkan pemberian uang dan hadiah untuk peserta kampanye terbatas.

Politik uang sudah menjadi pengetahuan umum sejak era reformasi.

Ketika keran keterbukaan politik terjadi dengan ditandai kompetisi politik antarpartai, bahkan antarkandidat, yang sangat ketat, ongkos politik menjadi demikian mahal.

Para pelaku dalam kontestasi politik pemilu tidak saja terbebani oleh pengeluaran keuangan yang absah, tetapi juga menghadapi tuntutan yang sering kali dilematis, yakni menerapkan politik uang.

Lambat laun, politik uang menjadi instrumen jalan pintas yang membudaya dan, sayangnya, diamini sebagian kalangan masyarakat. Pola pragmatisme-transaksional tersebut pun tumbuh subur.

Pelbagai diskusi telah banyak digelar, khusus menyorot fenomena politik uang sebagai salah satu sumber penyakit dalam praktik perpolitikan nasional.

Secara normatif, semua menolak kendati kalangan politikus diam-diam menyebut mereka tidak bisa mengelak.

Mereka khawatir tidak akan terpilih, apalagi ketika mencermati kompetitor lain gencar berpolitik uang.

Politik uang jelas merusak demokrasi dan identik dengan korupsi. Kompetisi yang jujur dan bersih ternodai.

Lebih jauh lagi, politik uang menghambat kandidat-kandidat politik yang berpotensi.

Kandidat yang muncul ialah mereka yang kebetulan beruang banyak.

Penolakan terhadap politik uang tidak bisa sebatas dalam semangat, tetapi harus ada aturan main yang ketat.

Dalam UU Pilkada, DPR dan pemerintah terlihat mempermudah sanksi bagi pelaku politik uang.

Praktik tersebut dikategorikan pelanggaran administrasi sehingga pemberian sanksi tidak perlu menunggu proses peradilan.

Bawaslu bisa langsung memeriksa dan memutus sanksi.

Namun, pada penjelasan pasal tentang politik uang dalam UU Pilkada disebutkan memberikan uang atau materi lainnya meliputi pemberian biaya makan minum peserta kampanye, biaya transpor peserta kampanye, biaya pengadaan bahan kampanye saat pertemuan terbatas dan/atau pertemuan tatap muka dan dialog, dan hadiah lainnya berdasarkan nilai kewajaran dan kemahalan suatu daerah tidak masuk politik uang.

Di situlah ambiguitas muncul.

Ketika integritas masih bisa goyah, tidak tertutup kemungkinan, pemeriksaan hingga penjatuhan sanksi oleh Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) akan bias oleh kepentingan politik.

Berhadapan dengan UU Pilkada 2016 yang setengah hati dalam memberantas politik uang, harapan kini banyak bergantung pada Komisi Pemilihan Umum (KPU).

KPU diharapkan menetapkan ketentuan tegas yang mengatur lebih ketat besaran atau bentuk bantuan.

Tidak kurang pentingnya ialah perlunya partai politik mengembangkan paradigma dan praksis politik yang bersih dari politik uang dan korupsi.

Itu tantangan tidak mudah, tetapi bukan tidak mungkin asal ada niat, tekad, dan konsistensi. (Rudy Polycarpus/P-1)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Msyaifullah
Berita Lainnya