Headline
IKN bisa menjadi ibu kota Provinsi Kalimantan Timur.
PELANGGARAN politik uang di Pilkada 2017 diperkirakan tetap akan meningkat.
Prediksi itu muncul karena adanya ketentuan UU No 10 Tahun 2016 tentang Pilkada yang membolehkan pemberian uang untuk penggantian biaya transportasi dan konsumsi bagi peserta kampanye.
Ketentuan itu terdapat di penjelasan Pasal 73 ayat (1) UU Pilkada. Koordinator Nasional Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR), Masykurudin Hafidz, mengatakan aturan tersebut tetap membuka peluang politik uang demi menang dalam kontestasi pilkada.
"Jadi, koalisi itu bukan pertemuan antarparpol dan kemudian menentukan calon, tetapi calonlah yang mengumpulkan partai politik dengan segala kekuatan finansial," ujar Masykur saat dihubungi Media Indonesia, Sabtu (2/7).
Dalam masa kampanye pun, pasangan calon bisa mengatur pertemuan para saksi yang notabene pemilih serta tim kampanye.
Pertemuan terselubung dengan dalih relawan bisa berjalan lancar karena ada imbal jasa berupa penggantian biaya transportasi dengan jumlah signifikan.
"Inilah yang membedakan pasangan calon dari perspektif pendanaan. Dalam praktiknya, politik uang selalu mendahului dan lebih canggih untuk menghindari ketentuan hukum penindakannya," terang Masykur.
Dari sisi pemilih, sambung Masykur, praktik politik uang belum tentu memengaruhi.
Faktor yang lebih menentukan ialah apabila praktik politik uang ternyata disertai intimidasi dan instruksi, seperti pelibatan kepala keluarga, pemuka adat dan agama, serta tokoh masyarakat, untuk mengarahkan pemilih agar memilih calon tertentu.
"Politik uang kepada kelompok dengan memengaruhi tokoh dan kepalanya lebih signifikan. Inilah yang menjadi faktor penambah dan sangat berpengaruh," tutur Masykur.
Kalangan DPR membantah UU Pilkada yang baru memelihara celah praktik politik uang. Ketua Komisi II DPR Rambe Kamarul Zaman menyatakan pemberian uang makan, uang transportasi, dan hadiah itu dilakukan untuk memperlancar kampanye, bukan bagian dari politik uang.
Meski begitu, ia mengakui pemberian itu bisa saja memengaruhi pilihan masyarakat terhadap calon tertentu.
"Ya, memang kenyataannya begitu, tapi semua calon pasti melakukan hal yang sama, yakni melakukan pertemuan-pertemuan," ujarnya.
Di sisi lain, aturan uang makan dan transportasi, menurut Rambe, justru mendorong transparansi. Detail jumlah kewajaran pemberian uang menjadi kewenangan Komisi Pemilihan Umum (KPU) melalui penerbitan aturan dengan berkonsultasi bersama DPR.
"Agar kemudian semua menjadi transparan dan wajar. Misalnya kasih bensin Rp25 ribu karena datang ke pertemuan, itu wajar," tegas politikus Partai Golkar itu.
Lebih jauh, UU Pilkada memberikan kewenangan lebih kepada Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) untuk bertindak tegas kepada calon yang melakukan politik uang.
Sanksi yang diberikan Bawaslu langsung bisa dieksekusi tanpa melalui pengadilan.
Anggota Komisi II DPR Henry Yosodiningrat mengaku selama proses penyusunan undang-undang, DPR dan pemerintah sudah berupaya keras memangkas semua bentuk pemberian kepada pemilih dan mengategorikannya sebagai politik uang.
Namun, tidak bisa dimungkiri, sebaik apa pun peraturan, selalu ada celahnya.
Henry mendorong penyelenggara dan pengawas pemilu untuk memaksimalkan UU dengan membentuk aturan yang optimal memangkas politik uang.
"Enggak mungkin menutup rapat (politik uang) ini. Paling tidak pemerintah dan DPR sudah berusaha sedemikian rupa. UU ini sudah efektif kok menjerat politik uang," dalih anggota Fraksi PDIP itu saat dihubungi, kemarin.
Jeli mengatur
Pemberian tertentu kepada peserta kampanye dari pasangan calon yang masih mungkin terjadi harus diimbangi dengan kejelian KPU dalam merumuskan aturan batas nilai kewajaran pemberian itu.
Bawaslu pun mesti awas dalam mengendus transaksi dengan nilai tidak wajar.
"Kalau uang makan Rp50 ribu (per orang), atau transpor Rp75 ribu kan masih wajar, tapi kalau uang makan Rp1 juta, wajar enggak tuh? Ini bisa dikategorikan politik uang," kata Henry.
KPU berencana membuat aturan yang menyebutkan pemberian kepada peserta kampanye hanya dalam bentuk nontunai.
Hal itu sekaligus memberikan pemahaman bahwa berkampanye ialah memberikan pendidikan politik kepada masyarakat.
"Dalam pemahaman kami soal pendidikan politik tidak bisa dengan diberikan uang tunai, tapi ini masih sharing ide di forum internal, belum sampai ke rumusan," ujar Komisioner KPU Ida Budhiati.
Komisioner KPU Hadar Nafis Gumay menambahkan, pengaturan dana kampanye nontunai bertujuan menghindari politik uang.
KPU tidak ingin ada calon atau tim kampanye yang menentukan angka yang berlebihan dalam biaya kampanye.
"Jika dibiarkan kepada pasangan calon atau tim kampanye yang menentukan angkanya nanti besar sekali. Jangan-jangan nanti jadi politik yang dikasih dasar hukum," imbuhnya.
Ganggu independensi
Ketentuan yang dituangkan KPU dalam peraturan KPU (PKPU) itu nantinya harus dikonsultasikan dengan DPR sebelum disepakati dan diterbitkan.
Keharusan berkonsultasi dengan DPR itu, menurut Hadar, bisa mengubah ketentuan bentuk pemberian dari nontunai menjadi tunai.
Hadar khawatir KPU akan kehilangan independensi.
Padahal, KPU tidak setuju dengan aturan pemberian uang kampanye.
Menurutnya, hal itu bisa saja menjurus pada politik uang.
Ia mencontohkan, untuk makan peserta kampanye, mereka lebih baik langsung diberi nasi kotak.
Jadi, tidak perlu memberikan uang tunai untuk membeli makanan.
"Tapi kami beda pendapat, DPR inginnya uang tunai," pungkasnya.
Peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Fadli Ramadhanil juga menyoal pemberian dalam bentuk uang tunai kepada peserta kampanye.
"Sudah banyak studi dan referensi yang menjabarkan salah satu modus politik uang ialah dengan memberikan fresh money kepada calon pemilih," ujarnya.
Fadli menilai pemberian sanksi tegas berupa pidana dan ancaman diskualifikasi terhadap pasangan calon kepala daerah yang melakukan praktik politik uang patut diapresiasi.
Namun, regulasi itu justru menjadi lemah karena adanya legalisasi pemberian uang transportasi, konsumsi, dan hadiah. (Nov/Pol/Kim/P-1)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved