436 Hari Kamis Dilalui untuk Cari Keadilan Depan Istana Negara

Erandhi Hutomo Saputra
25/3/2016 07:30
436 Hari Kamis Dilalui untuk Cari Keadilan Depan Istana Negara
(MI/Gino F Hadi)

LELAKI tua itu masih tegap berdiri, berbaju hitam bertuliskan 400 hari kamisan, ia tidak beranjak dari tempatnya. Di tengah terik matahari sore hari, ia memakai topi dan memegang payung hitam, matanya menatap penuh harap ke arah Istana Negara. Bising kendaraan yang berlalu lalang tak membuatnya berpaling. Lelaki bernama Machmuri, 78, itu sedang merayakan Hari Internasional untuk Hak atas Kebenaran di depan Istana Negara, Kamis (24/3).

“Kita maunya korban 1965 dipulihkan namanya, direhabilitasi, kompensasi, dan kembalikan hak-hak kami, itu saja,” ucap Machmuri yang merupakan korban peristiwa 1965 tersebut.

Pak Muri, demikian dia disapa, bersama-sama dengan korban pelanggaran HAM berat lainnya sekaligus melaksanakan aksi Kamisan yang ke-436 di depan Istana Negara. Aksi yang dilakukan sejak 8 tahun terakhir itu menuntut agar pemerintah segera menuntaskan 7 kasus pelanggaran HAM berat masa lalu yang kini masih menggantung.

Dengan suara yang lirih, Muri yang pada peristiwa tersebut berusia 24 tahun bercerita jika dirinya tiba-tiba dipecat dari pekerjaannya sebagai PNS Departemen Transmigrasi, Koperasi, dan Pembangunan Desa di Jakarta. Ia dituduh sebagai bagian dari PKI dalam peristiwa G30S-PKI.

“Pokoknya pegawainya Soekarno disingkirkan semua diganti pegawai baru,” tandasnya.

Muri kemudian mendekam dalam penjara selama sekitar 3 tahun. Meski bebas, ia merasa seperti layangan yang seolah-olah terbang namun nyatanya ditarik ulur. Bahkan dalam kehidupan bermasyarakat terkadang ia masih mendapat diskriminasi.

“Bebas gak bebas, diawasi terus,” ucapnya.

Korban 1965 lainnya, Sarif, 76, yang berasal dari Malang mendekam lebih lama hampir 10 tahun dalam penjara. Sarif saat itu juga termasuk tahanan politik yang diasingkan ke Pulau Buru. Usai bebas, Sarif kembali ke kota asalnya namun gerak-geriknya dibatasi dan KTP-nya mendapat kode khusus. Tak tahan dengan keadaan itu Sarif akhirnya hijrah ke Jakarta.

Sebelum ditahan, Sarif saat itu hendak bekerja bermain ludruk bersama sanggar keseniannya, ternyata seluruh anggota keseniannya telah dikumpulkan di suatu tempat dan digiring aparat dengan alasan pengamanan. Sarif sendiri tidak memahami mengapa dirinya ikut ditahan, namun berdasarkan informasi yang ia ketahui, kelompok keseniannya diduga berafiliasi dengan Lekra, organisasi kebudayaan yang dibentuk PKI.

“Tapi saya tidak merasa jadi anggota Lekra, saya cari duit di ludruk kok,” kata Sarif.

Kasus Semanggi I

Suara menuntut penuntasan kasus melalui pengungkapan kebenaran juga didengungkan Sumarsih, ibu dari Wawan yang merupakan korban tragedi Semanggi I. Sumarsih mengecam rencana pemerintah melalui Menko Polhukam Luhut Pandjaitan yang akan menyelesaikan 7 kasus pelanggaran HAM berat melalui skema non yudisial. Menurutnya hal tersebut tidak sesuai dengan Nawa Cita Presiden Jokowi yang ingin kasus pelanggaran HAM tuntas di eranya.

“Kami tidak masalah rekonsiliasi asal proses hukum tetap berjalan, sehingga jelas siapa pelaku dan siapa korbannya,” ungkapnya.

Dengan lantang Sumarsih menantang pemerintah untuk menjunjung tinggi supremasi hukum jika memang Indonesia benar-benar negara hukum. Menurutnya, hingga kini Indonesia masih menggelapkan kebenaran dan belum menjalankan hukum dengan adil.

“Semoga tahun ini kalau Presiden Jokowi sungguh-sungguh menunjukkan komitmennya untuk menghapus impunitas, Indonesia tahun depan bisa merayakan apa itu kebenaran,” harap Sumarsih.

Selain peristiwa 1965 dan Semanggi I, hingga kini Indonesia masih mempunyai utang 7 kasus pelanggaran HAM berat masa lalu yakni penembakan misterius (Petrus), tragedi penghilangan paksa 1997-1998, tragedi Trisakti 1998, kasus Talangsari 1989, dan pembunuhan di Wamena Wasior, Papua. Presiden Jokowi yang berasal dari kalangan sipil diharapkan menyelesaikan utang sejarah tersebut.

Adapun sebelumnya Luhut menyebut jika jalur rekonsiliasi merupakan langkah yang tepat, namun Wakil Koordinator Bidang Strategi dan Mobilisasi KontraS, Puri Kencana khawatir wacana rekonsiliasi merupakan penghapusan dosa para petinggi militer dan peniadaan pertanggungjawaban hukum. (X-2)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Gaudens
Berita Lainnya