Perma No 1/2020 tidak Jamin Beri Efek Jera Koruptor

Ade Alawi
03/8/2020 20:10
Perma No 1/2020 tidak Jamin Beri Efek Jera Koruptor
Pakar Hukum Pidana Albert Aries(Ist)

DI bawah langit kelabu pemberantasan korupsi di Tanah Air, Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2020 tentang Pedoman Pemidanaan Pasal 2 dan 3 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), patut diapresiasi.

Namun demikian, Perma yang diteken oleh Ketua MA Muhammad Syarifuddin pada 8 Juli 2020 tersebut, itu tidak menjamin memberikan efek jera bagi koruptor.

 “Dengan beratnya hukuman yang “terstandarisasi” dan konsisten putusan (non disparitas) seharusnya membuat pelaku berpikir ulang untuk melakukan Tipikor sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 dan 3, namun hukuman pidana penjara yang lama (kecuali seumur hidup) tidak serta merta memiliki korelasi dengan jeranya pelaku Tipikor, karena anggapan umum bahwa koruptor lebih takut dimiskinkan hartanya, ketimbang dipidana penjara,” kata Pakar Hukum Pidana Albert Aries saat dihubungi Senin (3/8).

Menurut Dosen Fakultas Hukum Universitas Trisakti itu, Perma merupakan peraturan yang isinya memuat ketentuan yang bersifat Hukum Acara, sehingga secara internal mengikat untuk menjadi pedoman bagi hakim.

“Secara eksternal menjadi aturan yang mengikat bagi seluruh warga negara, karena Perma termasuk dalam hierarki peraturan perundang-undangan (pasal 8 UU 12/2011),” jelasnya.

Baca juga : Perma 1/2020 Relevan dalam Upaya Pemberantasan Korupsi

Dilihat dari konsiderannya, kata Albert, Perma ini  memiliki tujuan yang baik, yaitu untuk menghindari disparitas perkara yang memiliki karakter serupa. Pasalnya, penjatuhan vonis oleh hakim dalam kasus Tipikor menjadi diskresi hakim yang berpotensi disalahgunakan.

“Perma ini memberikan pedoman berat ringannya  hukuman dengan kategori kerugian keuangan/perekonomian negara, tingkat kesalahan, dampak keuntungan, rentang penjatuhan pidana, keadaan yang memberatkan/meringkankan, penjatuhan pidana dan ketentuan lain yg berkaitan dengan penjatuhan pidana (pasal 5 Perma),” tuturnya.

Namun, kata dia, dalam praktik  cukup sulit untuk membedakan kualifikasi Pasal 2 yang subjeknya “setiap orang”, dan Pasal 3 yang subjeknya “setiap orang yang menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan.

“Apalagi rumusan pasal 2 UU Tipikor memungkinkan dijatuhinya hukuman mati, dan pasca putusan MK No 25/PUU-XIV/2016 yang menjadikan kedua pasal tersebut menjadi delik materiil yang menekankan pada akibat. Alhasil, harus ada kerugian negara/perekonomian negara yang nyata, sebelumnya ada kata “dapat” merugikan keuangan negara,” ungkapnya.

Albert ingin memberikan catatan bahwa karena kualifikasi pasal 2 dan pasal 3 UU Tipikor dalam praktik sukar dibedakan dari sisi subjek dan perbuatan serta akibatnya. “Idealnya  Perma ini juga memberikan pedoman lebih jelas mengenai dalam hal atau kondisi seperti apa pasal 2 dan pasal 3 tersebut dijatuhkan,” pungkasnya. (OL-2)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Baharman
Berita Lainnya