Headline
PRESIDEN Amerika Serikat (AS) Donald Trump telah menetapkan tarif impor baru untuk Indonesia
PRESIDEN Amerika Serikat (AS) Donald Trump telah menetapkan tarif impor baru untuk Indonesia
MALAM itu, sekitar pukul 18.00 WIB, langit sudah pekat menyelimuti Dusun Bambangan
MAHKAMAH Konstitusi mengelar sidang lanjutan perkara 55/PUU-XVII/2019 tentang gugatan pemilu serentak di Gedung MK (13/1)
Saksi ahli Didik Supriyanto menyebut pemilu serentak memberi banyak beban yang tidak gampang dikelola. Dari persoalan surat suara telat, kurang, hingga proses penghitungan dan rekapitulasi yang memakan waktu lama. Menurutnya, masalah tersebut selalu terjadi dalam penyelenggaraan pemilu serentak.
"Sehingga dari pemilu ke pemilu selalu saja terjadi masalah dalam pemunguutan dan penghitungan suara," ujarnya dalam sidang yang diketuai Hakim Konstitusi Anwar Usman.
Didik Supriyanto juga menyajikan fakta lain untuk memberi pertimbangan hakim dalam memutus perkara tersebut. Menurutnya, pemilu serentak menyulitkan pemilih dan penyelenggara. Pada pemilu serentak 2019 misalnya, tak sedikit petugas pemilu yang meninggal dunia.
"Kerumitan pemilih dalam memberikan suara dan banyaknya petugas pemilu yang meninggal dunia pada pemilu 2019 telah memunculkan banyak pendapat untuk menyederhanakan sistem pemilihan," tambah saksi yang dihadirkan pemohon itu.
Ia menambahkan bawah model pemilu serentak juga melanggar asas pemilu. Pemilih sulit merasa nyaman ketika dihadapkan pada daftar ratusan nama yang bakal mereka pilih.
"Penyelenggaran Pileg melanggar asas jujur dan adil bagi pemilih. Model pemilu dengan 4 kertas suara yang masing-masing mencantumkan ratusan nama calon jelas-jelas mengabaikan kepentingan dan kenyamanan dan memilih dalam memberikan suara," tandasnya.
Menurutnya, hal itu tentu berakibat pada kualitas hasil pemilu.
"Pemilih sulit bersikap rasional sehingga sulit menentukan calon terpilih terbaik," lanjutnya.
Oleh karena itu, Didik menyarankan agar ada pengaturan jadwal antara pemilu nasional dan daerah. Cara itu dinilai bisa menghentikan masalah pemilu serentak yang selalu berulang.
"Pengaturan jadwal pemilu nasional dan pemilu daerah dapat menghentikan masalah yang terus berulang dari pemilu ke pemilu tersebut," tegasnya.
Saksi ahli lain yang dihadirkan pemohon adalah Khairul Fahmi. Dalam sidang, Fahmi menyoroti kewenangan MK. Menurutnya, MK berwenang untuk mengadili perkara tersebut sebab desain pemilu serentak adalah masalah konstitusional. Pemilu serentak berkaitan dengan penguatan sistem presidensial, penguatan otonomi daerah, dan hak warga negara.
"Desain keserentakan pilpres dan pileg merupakan masalah konstitusional yang menjadi wewenang MK untuk memutusnya.
Sebab desain tersebut berkenaan dengan penguatan sistem presidensial yang diatur dalam konstitusi, penguatan otonomi daerah, dan penjaminan hak warga negara terhadap kemurnian hak pilih sebagai hak fundamental warga negara ," tegasnya.
Perkara 55/PUU-XVII/2019 mengajukan pengujian Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Pengesahan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota menjadi Undang-Undang, dan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Perubahan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Pengesahan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota menjadi Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Perkara tersebut diajukan oleh Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) yang diwakili Titi Anggraini dengan kuasa hukum Fadli Ramadanil. (OL-8)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved