Headline
Presiden Prabowo berupaya melindungi nasib pekerja.
Laporan itu merupakan indikasi lemahnya budaya ilmiah unggul pada kalangan dosen di perguruan tinggi Indonesia.
AKSI-AKSI intoleransi yang masih banyak terjadi menunjukkan lemahnya upaya pemerintah dalam meredam dan mengatasi bibit-bibit intoleransi. Ancaman bahkan pengusiran hingga penyerangan dengan mudah dilancarkan sekelompok orang di luar hukum yang berlaku. Hal itu antara lain terlihat pada 2013 lalu, warga Syiah di Sampang Madura terpaksa direlokasi ke Sidoarjo karena alasan keamanan. Terbaru, kasus pengusiran anggota Jemaat Ahmadiyah di Kabupaten Bangka, Bangka Belitung.
"Ini sudah darurat intoleransi," cetus kader muda Nahdlatul Ulama Zuhairi Misrawi dalam konferensi pers, di Jakarta, kemarin. Zuhairi membeberkan kasus-kasus intoleransi utamanya menyasar kaum-kaum minoritas seperti Ahmadiyah, Syiah, dan umat kristiani. Hak-hak warga negara untuk memeluk keyakinan dan mendapat perlindungan hukum terabaikan. Dalam kasus di Bangka, Bupati Bangka Tarmizi H bisa leluasa mengusir. Pihak-pihak yang mengancam pun tidak ditindak secara hukum. Senada, Direktur The Indonesia Human Rights Monitor (Imparsial) Al Araf menekankan ancaman-ancaman oleh kelompok tertentu terhadap kelompok minoritas mesti ditindak.
"Menjadi aneh kalau kemudian negara takut dari tekanan-tekanan sebagian masyarakat," cetusnya. Di kesempatan yang sama, Sekretaris Pers dan Juru Bicara Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) Yendra Budiana menuturkan terabaikannya hak-hak warga Ahmadiyah sebagai warga negara bukan hanya terkait dengan jaminan keamanan. Sampai saat ini anggota Jemaat Ahmadiyah di Desa Manislor, Kuningan, Jawa Barat, misalnya, masih kesulitan mengakses kartu tanda penduduk (KTP) dan mengurus perkawinan secara resmi yang diakui negara.
Di kesempatan terpisah, komisioner Komnas HAM Imdadun Rahmat menilai sikap pemerintah pusat yang lembek membuat pemda seakan dibiarkan mengurus sendiri permasalahan tertindasnya kaum minoritas. "Pemda tidak mau menanggung risiko politik dan keamanan sendirian. Mereka harap otoritas di tingkat nasional juga ikut bagian menangani, (pemerintah pusat) jangan cuma cuci tangan," tegas Imdadun, (8/2). Namun, Wakil Ketua Setara Institute Bonar Tigor Naipospos mengaku tidak heran jika pemda turut memfasilitasi diskriminasi terhadap kaum minoritas. Menurut hasil kajian Setara, pelanggar hak kebebasan beragama dan berkeyakinan terbanyak ialah aparat di jajaran pemda. "Kepala daerah melakukan itu demi kepentingan politiknya, untuk mengamankan suara dari kelompok mayoritas," ungkap Tigor.
Kurang paham
Dirjen Politik dan Pemerintahan Umum Kementerian Dalam Negeri Soedarmo mengatakan diskriminasi terhadap warga terjadi lantaran kurangnya pemahaman dari kepala daerah yang bersangkutan. "Semua sudah diatur dengan UU. Kalau itu dipelajari, dilaksanakan, diimplementasikan, sebetulnya tidak akan terjadi diskriminasi," terangnya saat dihubungi kemarin. Soedarmo mengakui tidak semua kepala daerah, baik gubernur, bupati, maupun wali kota berpemahaman yang sama.
Untuk itu, para calon kepala daerah akan diberikan pendidikan pemerintahan, termasuk penanganan warga yang berkonflik. Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo menambahkan, pihaknya akan mengingatkan kepala daerah untuk membina kerja sama dengan tokoh-tokoh agama dan masyarakat demi meredam intoleransi. (Nyu/Nur/P-1)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved