Headline
Konsistensi penegakan hukum perlindungan anak masih jadi tantangan
Konsistensi penegakan hukum perlindungan anak masih jadi tantangan
Di Indonesia, cukai rokok sulit sekali naik, apalagi pada tahun politik.
KETUA Mahkamah Agung Muhammad Hatta Ali memandang putusan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta terkait dengan pencalonan Oesman Sapta Odang atau biasa disapa OSO sebagai calon anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) harus dihormati dan telah sesuai dengan aturan hukum. Komisi Pemilihan Umum (KPU) semestinya menjalankan putusan itu.
Pada 14 November 2018, PTUN Jakarta memenangkan gugatan OSO dan memerintahkan KPU mencabut surat keputusan (SK) tentang daftar calon tetap (DCT). Dalam SK itu tidak tercantum nama OSO karena yang bersangkutan merupakan pengurus partai politik, yakni Ketua Umum Partai Hanura.
Namun, KPU bergeming dengan keputusan itu selama OSO tidak mengundurkan diri dari kepengurusan parpol. Tenggat yang mereka berikan, yakni Selasa (22/1) hingga pukul 24.00 WIB, pun berakhir sehingga OSO tetap tak tercantum di DCT DPD.
Hatta menuturkan, dengan mengacu pada Putusan MA No 65P/HUM/2018, Peraturan KPU No 26 Tahun 2018 tentang Pencalonan Perseorangan Peserta Pemilu Anggota DPD tak dapat digunakan. Pasal 60 A dalam peraturan KPU tersebut bertentangan dengan Pasal 5 huruf d dan Pasal 6 ayat 1 huruf I UU No 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
Putusan itu, ditegaskan Hatta, sesuai dengan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) sebab putusan MK bahwa pengurus parpol dilarang menjadi calon anggota DPD berlaku ke depan, atau tidak di masa Pemilu 2019.
"Soal itu, PTUN sudah memutuskan begitulah putusannya. Kan sudah baca penjelasannya kenapa keluar, karena (putusan MK) berlaku ke depan semua, bukan berlaku surut," ujar Hatta di Gedung MA, Jakarta, kemarin.
Dia membantah anggapan bahwa putusan MA bertentangan dengan putusan MK dan menimbulkan polemik hukum berkepanjangan. Menurut Hatta, pemberlakuan putusan MK sama dengan aturan perundang-undangan, yakni berlaku ke depan dan tidak berlaku surut.
"Sehingga adanya putusan MK, MA, dan PTUN sudah saling mendukung bahwa pemberlakuan putusan MK berlaku ke depan. Tidak berbeda, sa-ling mendukung," terang Hatta.
"MK memutuskan itu ke depan, kita pun ke depan, Bawaslu juga melihat. Jadi, sudah ada tiga putusan. Tidak ada yang bertentangan. Saling mendukung malah. Sebagian yang bilang bertentangan dengan putusan MK, coba Anda baca, simak betul, tidak ada pertentangan," imbuhnya.
Celah sengketa
Pengamat politik dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Siti Zuhro mengatakan adanya polemik pencalonan OSO tersebut dapat memunculkan sengketa hukum di kemudian hari. Dari sisi ketentuan proses kepemiluan, hal itu dapat menjadi celah gugatan pada saat menanggapi hasil kepemiluan.
"Jadi, ini nanti akan ada sengketa hukum dan kita terbiasa detik-detik menjelang pemilu akan ada keputusan susulan yang membuat posisi KPU sebagai penyelenggara sangat dilematis. Itu masalahnya," ujar Siti.
Secara muruah dan fungsi bikameral, Siti berpandangan DPD merupakan representasi yang seharusnya dapat mewakili aspirasi kepentingan daerah dan bukan partai politik. Dia mempertanyakan adanya ketentuan revisi dalam hal persyaratan calon anggota DPD selepas Pemilu 2004.
Jika menilik ketentuan di UU No 12 Tahun 2003 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD yang digunakan dalam Pemilu 2004, syarat pencalonan anggota DPD ialah tidak menjadi pengurus partai politik sekurang-kurangnya empat tahun yang dihitung sampai dengan tanggal pengajuan calon.
Hal itu diperkuat dengan sikap MK yang tertuang dalam putusan nomor 30/PUU-XVI/2018.
Menurut Siti, setelah Pemilu 2004, sulit untuk mengembalikan muruah DPD yang menjadi representasi daerah. (X-8)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved