Ray Rangkuti: MKD Harus buat Inkracht Kasus Novanto
Astri Novaria
22/12/2015 00:00
(ANTARA/Sigid Kurniawan)
Keputusan Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) DPR RI untuk menutup perkara pelanggaran kode etik yang dilakukan oleh Setya Novanto terkait kasus "Papa Minta Saham" terus dipertanyakan.
Surat pengunduran diri Novanto yang ditandatangani di atas materai dan diterima pimpinan MKD pada saat rapat pleno MKD di Gedung DPR, Rabu (16/12) malam lalu, dianggap sebagai alasan bagi MKD untuk menutup kasus tersebut. Padahal, 17 anggota MKD menilai Novanto terbukti bersalah melanggar etika.
"Tidak ada satu orang pun di MKD yang mengatakan Novanto tidak bersalah. Terlebih anggota MKD dari Fraksi Golkar meminta agar yang bersangkutan diberi sanksi berat. Sayangnya perkara itu tidak di inkracht-kan oleh MKD. Tidak ada ketentuan bahwa anggota DPR mundur otomatis menghentikan proses di MKD," ujar pengamat politik dari Lingkar Madani Indonesia, Ray Rangkuti di Kantor ICW, Jakarta, Selasa (22/12).
Lebih lanjut, kata Ray, faktanya Novanto mundur dari jabatannya sebagai Ketua DPR namun tidak sebagai anggota DPR. Ia menilai seolah-olah pengunduran Novanto dianggap sah oleh MKD. Belum ada surat resmi yang dilayangkan Fraksi Golkar kepada Pimpinan DPR atas pengunduran diri itu.
"Sejak kapan MKD menjadi lembaga yang mengesahkan pengunduran diri seseorang dari jabatan publiknya? Apakah Fraksi Golkar sudah melayangkan surat pegunduran diri ke Pimpinan DPR? unsur pimpinan DPR apakah sudah ditembuskan soal pengunduran diri Novanto? Apakah dengan sendirinya dia langsung berhenti? Tidak bisa semena-mena. SK pemberhentian Novanto sekarang berada di mana? Itu dulu harusnya mekanismenya, baru dengan landasan itu MKD baru bisa menetapkan," jelasnya.
Sehubungan dengan itu, menurut Ray, proses persidangan mengenai kasus "Papa Minta Saham" seharusnya masih berlangsung hingga kini. Dengan status sebagai terlapor, Novanto harusnya tidak diperbolehkan mendapat jabatan baru dalam bentuk apapun.
"Tidak dengan sendirinya MKD bisa menutup persidangan itu. Harusnya prosesnya terus berjalan, apalagi yang bersangkutan hanya mundur dari jabatannya sebagai Ketua DPR, bukan sebagai anggota DPR," pungkasnya. (Q-1)