Selama 2015, Polisi masih Jadi Aktor Kekerasan terhadap Pers

Nur Aivanni
22/12/2015 00:00
Selama 2015, Polisi masih Jadi Aktor Kekerasan terhadap Pers
(ANTARA/Nyoman Budhiana)
Kekerasan terhadap pers masih kerap terjadi sepanjang tahun 2015. Menurut catatan akhir tahun Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers ada sebanyak 47 kasus yang menimpa para jurnalis baik kekerasan secara fisik maupun non-fisik. Untuk itu, kondisi kebebasan pers di Indonesia masih memprihatinkan. Hal itu diutarakan oleh Direktur Eksekutif Lembaga Bantuan Hukum Pers Nawawi Bahrudin.

"Tahun 2015 kondisi kebebasn pers masih memperhatinkan karena masih ada catatan buram," ujarnya di Jakarta, Selasa (22/12).

Ia menambahkan 47 kasus tersebut sampai saat ini belum selesai secara tuntas.

Meskipun kasus tahun ini tidak sebanyak tahun 2014, kata Nawawi, aktor yang paling banyak melakukan kekerasan terhadap jurnalis masih dipegang oleh pihak kepolisian. Adapun kasus kekerasan terhadap jurnalis paling banyak terjadi di DKI Jakarta (8 kasus), Jawa Barat (6 kasus) dan Papua (5 kasus).

Salah satu kasus di Jakarta, jelas Nawawi, misalnya penganiayaan dan penghapusan hasil liputan kepada Jurnalis Aljazeera, ABC Australia, dan Bloomberg pada saat meliput aksi mahasiswa Papua di Jakarta.

Ia mengatakan latar belakang kepolisian menjadi aktor yang paling banyak melakukan kekerasan terhadap jurnalis lantaran mereka bersentuhan langsung dengan masyarakat.

"Menurut saya karena memang polisi lembaga yang punya peluang kontak dengan masyarakat lebih banyak," kata dia.

Kekerasan terhadap jurnalis masih terus berulang, ujar Nawawi, karena pihak yang berkaitan tidak maksimal dalam menyelesaikan kasus tersebut.

"Iya harusnya ketika terjadi kekerasan jurnalis, semua pihak harus punya kontribusi untuk penyelesaian. Jurnalis, perusahaan pers, organisasi profesi, dewan pers, dan aparat kepolisian. Lima pihak ini kurang punya keterkaitan," tuturnya.

Pada kesempatan yang sama, Kadiv Riset dan Jaringan LBH Pers Asep Komarudin menjelaskan tidak adanya sanksi tegas terhadap pelaku membuat kekeradan terhadap pers terulang berulang.

"Misalnya kasus di Pekanbaru, kita bawa ke Polda. Polda enggan memasukkan UU Pers. Mereka mencoba penyelesaian melalui kode etik di kepolisian," terangnya.

Alasan lainnya, lanjut dia, kasus kekerasan terhadap jurnalis kerap tidak ditanggapi dengan serius, sehingga kasus tersebut berlarut-larut yang berujung tidak tuntas. Juga, kata dia, Kepolisian tidak menepati MoU antara Dewan Pers dan Mabes Polri.

"Ketika ada kasus yang berkaitan dengan sengketa pemberitaan, Mabes seharusnya melemparkan kasus tersebut ke Dewan Pers terlebih dahulu," jelasnya.

Menurut Asep, komitmen pemerintahan Joko Widodo terkait kebebasan pers masih belum terlihat. Untuk itu, ia meminta agar Jokowi memerintahkan jajarannya untuk memperbaiki regulasi terkait kebebasan pers. "Kalau dia berkomitmen, dia harus mendorong pejabatnya (untuk memperbaiki regulasi)," ujarnya.(Q-1)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Admin
Berita Lainnya