(Acara Focus Group Discussion (FGD) yang bertema Restorasi Hukum: Inisiatif Kejaksaan Agung di Gedung Media Group, Jakarta, Selasa (1/12)--MI/Arya Anggala)
Di samping dituntut memiliki independensi alias bersih dari kaitan dengan partai politik, penempatan seseorang di posisi Jaksa Agung diminta juga disetai syarat dimilikinya sisi kemanusiaan yang tinggi. Sebab, ia memiliki tugas konstitusi yang krusial dalam penegakan Hak Asasi Mmanusia (HAM). Meski demikian, proses penegakan hukum yang restoratif tetap jadi alternatif selain hukum formal.
Itu terungkap dalam tiga diskusi kelompok terfokus (focus group discussion/FGD) terpisah bertajuk ‘Restorasi Hukum: Inisiatif Kejaksaan Agung’, yang digelar Media Research Center (MRC), di Kantor Media Indonesia, Jakarta, Selasa (1/12).
Hasil FGD itu sendiri mengungkapkan fakta bahwa mayoritas para pakar (43,1%) menganggap kepercayaan publik sebagai yang persoalan nomor satu di Korps Adhyaksa. Setelah itu, baru persoalan perundangan dan kelembagaan. Problem kepercayaan publik itu didominasi oleh ketidakpercayaan terhadap kredibilitas Jaksa (23,7%).
Sosiolog Universitas Indonesia Lucia Ratih Kusmadewi mengatakan, kepercayaan masyarakat pada Kejaksaan pada prinsipnya berpangkal pada para pemegang pucuk pimpinannya. Dengan kewenangannya yang strategis, lanjutnya, Kejaksaan mestinya bisa mendayagunakan itu untuk kembali menarik simpati publik. Misalnya, penuntasan tujuh kasus pelanggaran HAM berat masa lalu.
Ia mengakui adanya permasalahan teknis hukum antara Kejaksaan Agung dan Komnas HAM yang menghambat penuntasan kasus-kasus yang sejak lama jadi duri dalam daging itu. Namun, Luci menggarisbawahi soal kepekaan sisi kemanusiaan seorang Jaksa Agung yang mestinya bisa jadi pemacu dorongan politis (political will) untuk bekerja lebih keras mengurai benang kusut itu demi para korban yang belum juga mendapat haknya.
“Sehingga kriteria Jaksa Agung harusnya juga biasanya bahwa selain dia bersih, dia juga mempunyai sisi apa saja, seperti hak-hak kemanusian,†ucap dia.
Praktisi Huku Vera Wenny menambahkan, kapasitas Jaksa yang diragukan itu terkait dengan program pengembangan SDM Korps Adhyaksa yang belum optimal. Tentunya, itu didorong pula faktor sistem kepangkatan yang belum selalu mengedepankan prestasi, serta sistem penghargaan dan sanksi (reward and punishment).
Tanpa pengembangan kapasitas Jaksa, serta penghargaan yang menjadi penyemangat kerjanya, wacana perluasan kewenangan Kejaksaan—turut serta sejak mulai penyidikan bersama Kepolisian, hingga penuntutan-- bakal sia-saia belaka. “pengawasan eksternal dan internal, lantas juga capacity building untuk SDM-nya Penyidik itu juga penting sekali,†imbuh dia.
Lucia menimpali, minimnya kepercayaan publik pada Kejaksaan itu tak bisa dilepaskan dari faktor masa lalu pemegang pucuk pimpinannya, Mohammad Prasetyo, yang punya afiliasi politis dengan partai tertentu (Partai Nasdem). Ia pun mendorong jika suatu saat revisi UU Kejaksaan terealisasi, tema sentralnya adalah penguatan independensi Jaksa Agung dari kaitan politis.
“Nah jadi sebenarnya mungkin RUU yang saat ini bahwa memang apakah bisa dijadikan pertimbangan bahwa Jaksa Agung harus benar-benar terbebas dari kepentingan politik,†cetus dia.
Di tempat yang sama, Jaksa Agung Muda Bidang Pembinaan Bambang Waluyo menyebut bahwa penuntasan kasus pelanggaran HAM berat masa lalu memang jadi otoritas Jaksa Agung Muda Bidang Pidana Khusus. Namun demikian, dia mengungkapkan bahwa hasil penyelidikan Komnas HAM dalam kasus-kasus tersebut belum memenuhi syarat legal formal.
“Jadi bukan hanya dalam pengertian dan fakta, tapi juga (unsur) yuridisnya temen-temen di Pidsus belum memenuhi syarat, sehingga belum bisa untuk ditindaklanjuti (ke pengadilan HAM Adhoc),†kilahnya.
Pakar Hukum Pidana Andi Hamzah menyoroti pentingnya unsur penyelesaian pidana di luar pengadilan. Dalam daftar isian masalah (DIM) RUU KUHAP yang ia pimpin penyusunannya, Andi mngungkapkan soal adanya penyelesaian perkara di luar pengadilan. Itu rencananya berlaku untuk perkara-perkara yang hukuman maksimalnya lima tahun.
Pada konteks ini, ucapnya, Jaksa berperan penting untuk menilainya; apakah menaikannya ke tahap penuntutan di pengadilan, ataukan berbicara dengan hakim soal percepatan penuntasan perkara. Sisi kemanusiaan Jaksa di sini bermain. Hal ini dilakukan demi mencpaai prinsip peradilan yang cepat dan murah.
“Itu supaya pengadilan cepat. Bahkan di Rusia ada lebih maju lagi, orangnya sudah dikirim perkaranya ke pengadilan, dapat menghadap hakim minta langsung diputus tanpa sidang,†terang Andi.
Kejaksaan Agung sebelumnya menyebut soal keberadaan tujuh kasus pelanggaran HAM masa lalu yang sulit untuk ditindaklanjuti lewat jalur hukum akibat minimnya bukti. Yakni, kasus pembantaian terhadap anggota PKI sejak 1965, kasus Penembak Misterius di era Orde Baru, kasus penghilangan secara paksa terhadap para aktivis prodemokrasi di periode 97-98, tragedi Trisakti, kasus Semanggi I dan II, kasus Talangsari, serta insiden penyerbuan aparat bersenjata terhadap warga Wasior-Wamena pada 2003-2004. Jalur rekonsiliasi lebih dipilih.
Belum lama ini, Jaksa Agung mengakui bahwa pihaknya terus berkoordinasi dengan Komnas HAM soal kemungkinan ditindaklanjutinya beberapa penyelidikan lembaga tersebut dalam kasus pelanggaran HAM masa lalu. Ia sendiri tak menyebutkan kasus mana saja yang masih mungkin berlanjut ke jenjang yang lebih tinggi itu.
Soal kemungkinan dihidupkannya pengadilan HAM adhoc, Prasetyo mengatakan bahwa jalan itu masih panjang. Perlu ada keputusan politik dari DPR untuk kemudian ditindaklanjuti Pemerintah. "Kesulitannya karena sudah sekian waktu berjalan, khususnya untuk mencari bukti-buktinya. Kejaksaan Agung kan hanya menindaklanjuti dari penyelidikan Komnas HAM," dalih dia. (Q-1)